Konflik Sampit
Menurut Kajian Sosiologi
Zahra
Salsabila
1C
2125140269
Sastra
Indonesia
Jurusan
Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas
Bahasa dan Seni
Universitas
Negeri Jakarta
2014
Mata
Kuliah : Pengantar Sosiologi
Dosen
Pengampu : Drs. Sam Mochtar Chaniago, M. Si
A.
Latar
Belakang Konflik Sampit
Konflik Sampit adalah
pecahnya kerusuhan antar etnis di Indonesia, berawal pada Februari 2001 dan berlangsung sepanjang tahun
itu. Konflik ini dimulai di kota Sampit, Kalimantan
Tengah dan meluas ke seluruh
provinsi, termasuk ibu kota Palangka
Raya. Konflik ini terjadi antara suku
Dayak asli dan warga migran Madura dari pulau
Madura. Konflik tersebut pecah pada 18
Februari 2001 ketika dua warga Madura diserang oleh sejumlah warga
Dayak. Konflik Sampit mengakibatkan lebih dari 500 kematian, dengan lebih dari
100.000 warga Madura kehilangan tempat tinggal. Banyak warga Madura yang
juga ditemukan dipenggal kepalanya oleh
suku Dayak.
Konflik Sampit tahun 2001 bukanlah insiden yang terisolasi,
karena telah terjadi beberapa insiden sebelumnya antara warga Dayak dan Madura.
Konflik besar terakhir terjadi antara Desember 1996 dan Januari 1997 yang
mengakibatkan 600 korban tewas. Penduduk Madura pertama tiba di Kalimantan tahun 1930 di bawah program
transmigrasiyang dicanangkan oleh pemerintah
kolonial Belanda dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia. Tahun 2000,
transmigran membentuk 21% populasi Kalimantan Tengah. Suku Dayak merasa tidak
puas dengan persaingan yang terus datang dari warga Madura yang semakin
agresif. Hukum-hukum baru telah memungkinkan warga Madura memperoleh kontrol
terhadap banyak industri komersial di provinsi ini seperti perkayuan,
penambangan dan perkebunan.
Ada sejumlah cerita yang menjelaskan insiden kerusuhan tahun
2001. Satu versi mengklaim bahwa ini disebabkan oleh serangan pembakaran sebuah rumah Dayak. Rumor mengatakan bahwa kebakaran
ini disebabkan oleh warga Madura dan kemudian sekelompok anggota suku Dayak
mulai membakar rumah-rumah di permukiman Madura.
Profesor Usop dari Asosiasi Masyarakat Dayak mengklaim bahwa
pembantaian oleh suku Dayak dilakukan demi mempertahankan diri setelah beberapa
anggota mereka diserang. Selain itu, juga dikatakan bahwa seorang warga Dayak
disiksa dan dibunuh oleh sekelompok warga Madura setelah sengketa judi di desa
Kerengpangi pada 17 Desember 2000.
Versi lain mengklaim bahwa konflik ini berawal dari
percekcokan antara murid dari berbagai ras di sekolah yang sama.
Sedikitnya 100 warga Madura dipenggal kepalanya oleh suku
Dayak selama konflik ini. Suku Dayak memiliki sejarah praktik ritual pemburuan
kepala (Ngayau), meski praktik ini dianggap musnah pada awal abad ke-20.
Skala pembantaian membuat militer dan polisi sulit mengontrol situasi di Kalimantan Tengah. Pasukan
bantuan dikirim untuk membantu pasukan yang sudah ditempatkan di provinsi ini.
Pada 18 Februari, suku Dayak berhasil menguasai Sampit. Polisi menahan seorang
pejabat lokal yang diduga sebagai salah satu otak pelaku di belakang serangan
ini. Orang yang ditahan tersebut diduga membayar enam orang untuk memprovokasi
kerusuhan di Sampit. Polisi juga menahan sejumlah perusuh setelah pembantaian
pertama. Kemudian, ribuan warga Dayak mengepung kantor polisi di Palangkaraya
sambil meminta pelepasan para tahanan. Polisi memenuhi permintaan ini dan pada
28 Februari, militer berhasil membubarkan massa Dayak dari jalanan, namun
kerusuhan sporadis terus berlanjut sepanjang tahun.
B. Abdurrahman
Wahid Mengenai Konflik Sampit
Tragedi Sampit yang terjadi pada masa pemerintahan Abdurrahman
Wahid ini sangat disayangkan oleh Gusdur. Hal
tersebut ditegaskan Presiden di hadapan peserta Musyawarah Damai Anak Bumi
Kalimantan di Bina Graha, Jumat (23/3).
Dalam kesempatan tersebut, Presiden berharap
agar proses perdamaian yang diusahakan di Kalimantan tidak hanya meliputi warga
Dayak dan Madura saja, tapi juga meliputi satuan etnis lain yang ada di sana.
Ini supaya semakin tampak bahwa Kalimantan akan dibuka secara struktural dengan
pembangunan jalan raya-jalan raya, rel kereta api dan sebagainya. "Jadi,
ini penting sekali karena Kalimantan merupakan pulau yang besar yang tidak
hanya dihuni oleh orang dari Dayak dan Madura tapi juga dari Melayu, Banjar
dansebagainya," papar Presiden.
Kepala Negara juga menuturkan, dalam
menyelesaikan konflik tersebut pemerintah melakukan langkah-langkah pendekatan
jangka panjang dan pendekatan jangga pendek. Pendekatan jangka panjang,
meliputi pengembalian tanah-tanah sakral kepada masyarakat Dayak, mengejar
ketertinggalan sumber daya manusia di kalangan orang Dayak, serta
meneyelenggarakan upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk bekerja
di luar kerangka pemerintahan. "Langkah-langkah ini membutuhkan
kesungguhan, ketetapan hati dan rasa saling memiliki diantara warga Kalimantan
sendiri," kata Presiden.
Hadir mendampingi
Presiden, Mendagri Surjadi Soedirdja. Sementara dari kalangan peserta
musyawarah hadir antara lain, Gubernur Kalimantan Barat Asfar Aswin, Gubernur
Kalimantan Timur Suwarna Abdul Fatah, Gubernur Kalimantan Tengah Asmawi A Gani,
Gubernur Kalimantan Selatan Sjachriel D, Gubernur Jawa Timur Imam Oetomo serta
para sesepuh Dayak dan Pakar Sosiologi Universitas Indonesia Selo Soemarjan.
Sebelumnya, peserta musyawarah telah bersidang di Kemayoran Jakarta, dan
dihadiri oleh Wapres Megawati Soekarnoputri serta Menkopososkam Susilo Bambang
Yudhoyono.
Sayangnya, Gusdur hanya menyatakan ucapan tersebut sekali
waktu. Saat ia menjabat sebagai Presiden, beberapa sikap dan perilaku yang
tidak menarik dipertontonkan oleh Gus Dur dihadapan publik ketika dinobatkan
sebagai Presiden. Antara lain mengadakan kunjungan keluar negeri yang
berlebihan dengan setumpuk alasan pembenaran.
Menurut Tokoh Madura Kalimantan Timur (Kaltim), Presiden
Abdurrahman Wahid bertanggung jawab terhadap tragedy kemanusiaan di Sampit dan
Palangka Raya. Karena, Pemerintah sangat lamban dalam mengatasi pertikaian yang
menelan ratusan korban jiwa tersebut.
“Yang kita sesalkan, saat terjadi pembantaian sesama rakyat
Indonesia, ia (Gusdur) selaku Presiden RI lebih memilih melanjutkan perjalanan
ke luar negeri yang belum tentu bermanfaat bagi Negara ini,” kata K.H. Syafi’i,
Ketua Presidium Forum Komunikasi Persaudaraan Antarmasyarakat Kaltim (FKPMKT)
“Kita lihat dalam sejarah sejak Soekarno, Soeharto, BJ
Habibie, hingga Gusdur jadi Presiden, tragedi kemanusiaan paling dahsyat
terjadi pada Pemerintahan Abdurrahman Wahid, dan yang memprihatinkan Presiden
kita tersebut seakan-akan tidak memiliki rasa keprihatinan.”
C. Konflik
Sampit Menurut Kajian Sosiologi
Konflik
berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling memukul. Secara
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau
lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak
lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik
dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu
interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri
fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.
Dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah
mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya,
konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan integrasi berjalan sebagai
sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan
integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Sehingga
konflik antar suku bangsa dapat diartikan sebagai sesuatu yang dianggap baik
atau sakral dari suku tertentu mungkin tidak demikian halnya bagi suku lain.
Perbedaan etnis tersebut dapat menimbulkan terjadinya konflik antar etnis.
Misalnya konflik etnis di kalimantan antara suku dayak dan suku madura
pendatang. Bagi suku madura pendatang bekerja adalah suatu tuntutan bagi
pemenuhan hidup di perantauan. Pekerjaan yang dilakukan menebang kayu di hutan
dan tempat dimana mereka menebang kayu tersebut adalah tempat yang disakralkan
oleh suku dayak. Kesalahpahaman ini menyebabkan terjadinya konflik antar etnik
dayak dan madura yang menelan korban banyak di antara kedua suku yang
berkonflik tersebut.
Konflik etnis adalah konflik yang terkait dengan
permasalahan- permasalahan mendesak mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya,
dan teritorial di antara dua komunitas etnis atau lebih. (Brown, 1997).
Konflik
lebih sering terjadi karena berbagai sebab sekaligus. Kadangkala antara sebab
yang satu dengan yang lain tumpang tindih sehingga sulit menentukan mana
sebenarnya penyebab konflik yang utama. Faturochman (2003) menyebutkan
setidaknya ada enam hal yang biasa melatarbelakangi terjadinya konflik:
1)
Kepentingan yang sama diantara beberapa pihak,
2)
Perebutan sumber daya,
3)
Sumber daya yang terbatas,
4)
Kategori atau identitas yang berbeda,
5)
Prasangka atau diskriminasi,
6)
Ketidakjelasan aturan (ketidakadilan).
Dampak
negatif dari konflik yaitu keretakkan hubungan antarindividu dan persatuan
kelompok, kerusakkan harta benda benda dan hilangnya nyawa manusia, berubahnya
kepribadian para individu, dan munculnya dominasi kelompok pemenang.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk penyelesaian
konflik tersebut, yaitu :
1. Abitrasi, yaitu suatu perselisihan yang
langsung dihentikan oleh pihak ketiga dalam hal ini pemerintah dan aparat
penegak hukum yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua
belah pihak dengan memberikan sanksi yang tegas apabila. Kejadian seperti ini
terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat
spontan dan informal.
2. Mediasi, yaitu penghentian pertikaian
oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan yang mengikat.
3. Konsiliasi, yaitu usaha untuk
mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga tercapai
persetujuan bersama..
4. Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua
belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti
pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah
pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur .
5. Adjudication (ajudikasi), yaitu
penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan dengan mengutamakan sisi keadilan dan tidak memihak
kepada siapapun.
Untuk
mengurangi kasus konflik sosial diperlukan suatu upaya
pembinaan yang efektif dan berhasil, diperlukan pula tatanan, perangkat dan
kebijakan yang tepat guna memperkukuh integrasi nasional antara lain :
a. Membangun dan menghidupkan
terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu.
b. Menciptakan kondisi dan
membiasakan diri untuk selalu membangun consensus.
c. Membangun kelembagaan (pranata)
yang berakarkan nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa.
d. Merumuskan kebijakan dan
regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam aspek kehidupan dan pembangunan
bangsa yang mencerminkan keadilan bagi semua pihak, semua wilayah.
e. Upaya bersama dan pembinaan
integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan bijaksana, serta
efektif.
Adapun
cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah :
a. Aspek
kualitas warga sukubangsa
1) Perlunya diberikan pemahaman dan
pembinaan mental secara konsisten dan berkesinambungan terhadap para warga
sukubangsa di Indonesia terhadap eksistensi Bhinneka Tunggal Ika sebagai faktor
pemersatu keanekaragaman di Indonesia, bukan sebagai faktor pemicu perpecahan
atau konflik.
2) Perlunya diberikan pemahaman
kepada para pihak yang terlibat konflik untuk meniadakan stereotip dan
prasangka yang ada pada kedua belah pihak dengan cara memberikan pengakuan
bahwa masing-masing pihak adalah sederajat dan melalui kesederajatan tersebut
masing-masing anggota sukubangsa berupaya untuk saling memahami perbedaan yang
mereka punyai serta menaati berbagai norma dan hukum yang berlaku di dalam
masyarakat.
3) Adanya kesediaan dari kedua belah
pihak yang terlibat konflik untuk saling memaafkan dan melupakan peristiwa yang
telah terjadi.
b. Penerapan
model Polmas secara sinkron dengan model Patron-Klien.
Terjadinya perdamaian pada konflik antar sukubangsa yang
telah terwujud dalam sebuah konflik fisik tidaklah mudah sehingga perlu adanya
campur tangan pihak ketiga yang memiliki kapabilitas sebagai orang atau badan
organisasi yang dihormati dan dipercaya kesungguhan hatinya serta
ketidakberpihakannya terhadap kedua belah pihak yang terlibat konflik. Peran
selaku pihak ketiga dimaksud dapat dilakukan oleh Polri sebagai ”juru damai”
dalam rangka mewujudkan situasi yang kondusif dalam hubungan antar sukubangsa
dengan memberi kesempatan terjadinya perdamaian dimaksud seiring berjalannya
proses penyidikan yang dilandasi pemikiran pencapaian hasil yang lebih penting
dari sekedar proses penegakkan hukum berupa keharmonisan hubungan antar
sukubangsa yang berkesinambungan. Dalam hal ini, Polri dapat menerapkan metode
Polmas dengan melibatkan para tokoh dari masing-masing suku bangsa Ambon dan
Flores yang merupakan Patron dari kedua belah pihak yang terlibat konflik yang
tujuannya adalah agar permasalahan yang terjadi dapat terselesaikan secara arif
dan bijaksana oleh, dari dan untuk kedua sukubangsa dimaksud termasuk dalam hal
menghadapi permasalahan- permasalahan lainnya di waktu yang akan datang.
Teori yang Terkait:
1. Teori Konflik
Dalam suatu masyarakat akan selalu ada kelompok atas yang
menguasai kelompok bawah, kelompok ini dibagi berdasarkan kekuasaan, kemampuan,
kekayaan, kekuatan, dsb. Kelompok bawah (yang lemah) akan “ditindas” dan
menjalankan kehendak kelompok atas. Fenomena ini akhirnya memicu timbulnya
konflik antar kelompok. Selain hal tersebut kurangnya integrasi dalam
masyarakat, perbedaan paham atau kepentingan juga sebagai faktor timbulnya
konflik.
2. Teori Perubahan Sosial
Masyarakat tumbuh dan berkembang menuju arah yang lebih baik
atau lebih kompleks, namun proses mewujudkan hal tersebut tidaklah mudah.
Banyak hal yang kadang tidak mendukung perubahan tersebut, akhirnya timbullah
konflik.
3. Teori Struktural Fungsional
Suatu masyarakat memiliki struktur sosial yang di dalamnya
terdapat sistem, yang mana sistem- sistem tersebut fungsi masing- masing.
Apabila salah sistem tidak berfungsi, maka struktur tersebut akan cacat.
Kecacatan itulah yang dapat memicu timbulnya konflik
4. Teori Labeling
Labeling atau pemberian stigma pada seseorang atau suatu
kelompok dalam mempengaruhi pembentukan kepribadiaanya. Misalnya, suatu suku
diberikan stigma bahwa suku tersebut keras, senggol bacok. Maka suatu ketika
ada suku lain yang membuat hatinya tersinggung tidak dapat dipungkiri akan
muncul konflik antar kelompok yang bersangkutan.
5. Teori Interaksi
Dalam proses sosialisasi, interaksi adalah salah satu faktor
utama. Apabila interaksi sangat kurang, tidak ada pemahaman antara yang satu
dengan yang lain maka dapat mempengaruhi proses sosialisasi yang sedang
berlangsung. Kurangnya pemahaman dapat timbul konflik dalam masyarakat tersebut.
Daftar
Pustaka
https://albionbengkirai.wordpress.com/2014/06/20/konflik-antar-suku-di-indonesia-tugas-ibd-4/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar