Sabtu, 31 Desember 2016

Makalah: Konflik Sampit Menurut Kajian Sosiologi

Konflik Sampit Menurut Kajian Sosiologi

Zahra Salsabila
1C
2125140269
Sastra Indonesia
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Jakarta
                                                                          2014                      


Mata Kuliah : Pengantar Sosiologi
Dosen Pengampu : Drs. Sam Mochtar Chaniago, M. Si

A.  Latar Belakang Konflik Sampit
Konflik Sampit adalah pecahnya kerusuhan antar etnis di Indonesia, berawal pada Februari 2001 dan berlangsung sepanjang tahun itu. Konflik ini dimulai di kota Sampit, Kalimantan Tengah dan meluas ke seluruh provinsi, termasuk ibu kota Palangka Raya. Konflik ini terjadi antara suku Dayak asli dan warga migran Madura dari pulau Madura. Konflik tersebut pecah pada 18 Februari 2001 ketika dua warga Madura diserang oleh sejumlah warga Dayak. Konflik Sampit mengakibatkan lebih dari 500 kematian, dengan lebih dari 100.000 warga Madura kehilangan tempat tinggal. Banyak warga Madura yang juga ditemukan dipenggal kepalanya oleh suku Dayak.
Konflik Sampit tahun 2001 bukanlah insiden yang terisolasi, karena telah terjadi beberapa insiden sebelumnya antara warga Dayak dan Madura. Konflik besar terakhir terjadi antara Desember 1996 dan Januari 1997 yang mengakibatkan 600 korban tewas. Penduduk Madura pertama tiba di Kalimantan tahun 1930 di bawah program transmigrasiyang dicanangkan oleh pemerintah kolonial Belanda dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia. Tahun 2000, transmigran membentuk 21% populasi Kalimantan Tengah. Suku Dayak merasa tidak puas dengan persaingan yang terus datang dari warga Madura yang semakin agresif. Hukum-hukum baru telah memungkinkan warga Madura memperoleh kontrol terhadap banyak industri komersial di provinsi ini seperti perkayuan, penambangan dan perkebunan.
Ada sejumlah cerita yang menjelaskan insiden kerusuhan tahun 2001. Satu versi mengklaim bahwa ini disebabkan oleh serangan pembakaran sebuah rumah Dayak. Rumor mengatakan bahwa kebakaran ini disebabkan oleh warga Madura dan kemudian sekelompok anggota suku Dayak mulai membakar rumah-rumah di permukiman Madura.
Profesor Usop dari Asosiasi Masyarakat Dayak mengklaim bahwa pembantaian oleh suku Dayak dilakukan demi mempertahankan diri setelah beberapa anggota mereka diserang. Selain itu, juga dikatakan bahwa seorang warga Dayak disiksa dan dibunuh oleh sekelompok warga Madura setelah sengketa judi di desa Kerengpangi pada 17 Desember 2000.
Versi lain mengklaim bahwa konflik ini berawal dari percekcokan antara murid dari berbagai ras di sekolah yang sama.
Sedikitnya 100 warga Madura dipenggal kepalanya oleh suku Dayak selama konflik ini. Suku Dayak memiliki sejarah praktik ritual pemburuan kepala (Ngayau), meski praktik ini dianggap musnah pada awal abad ke-20.
Skala pembantaian membuat militer dan polisi sulit mengontrol situasi di Kalimantan Tengah. Pasukan bantuan dikirim untuk membantu pasukan yang sudah ditempatkan di provinsi ini. Pada 18 Februari, suku Dayak berhasil menguasai Sampit. Polisi menahan seorang pejabat lokal yang diduga sebagai salah satu otak pelaku di belakang serangan ini. Orang yang ditahan tersebut diduga membayar enam orang untuk memprovokasi kerusuhan di Sampit. Polisi juga menahan sejumlah perusuh setelah pembantaian pertama. Kemudian, ribuan warga Dayak mengepung kantor polisi di Palangkaraya sambil meminta pelepasan para tahanan. Polisi memenuhi permintaan ini dan pada 28 Februari, militer berhasil membubarkan massa Dayak dari jalanan, namun kerusuhan sporadis terus berlanjut sepanjang tahun.
B.  Abdurrahman Wahid Mengenai Konflik Sampit
Tragedi Sampit yang terjadi pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid ini sangat disayangkan oleh Gusdur. Hal tersebut ditegaskan Presiden di hadapan peserta Musyawarah Damai Anak Bumi Kalimantan di Bina Graha, Jumat (23/3). 
Dalam kesempatan tersebut, Presiden berharap agar proses perdamaian yang diusahakan di Kalimantan tidak hanya meliputi warga Dayak dan Madura saja, tapi juga meliputi satuan etnis lain yang ada di sana. Ini supaya semakin tampak bahwa Kalimantan akan dibuka secara struktural dengan pembangunan jalan raya-jalan raya, rel kereta api dan sebagainya. "Jadi, ini penting sekali karena Kalimantan merupakan pulau yang besar yang tidak hanya dihuni oleh orang dari Dayak dan Madura tapi juga dari Melayu, Banjar dansebagainya," papar Presiden. 
Kepala Negara juga menuturkan, dalam menyelesaikan konflik tersebut pemerintah melakukan langkah-langkah pendekatan jangka panjang dan pendekatan jangga pendek. Pendekatan jangka panjang, meliputi pengembalian tanah-tanah sakral kepada masyarakat Dayak, mengejar ketertinggalan sumber daya manusia di kalangan orang Dayak, serta meneyelenggarakan upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk bekerja di luar kerangka pemerintahan. "Langkah-langkah ini membutuhkan kesungguhan, ketetapan hati dan rasa saling memiliki diantara warga Kalimantan sendiri," kata Presiden. 
Hadir mendampingi Presiden, Mendagri Surjadi Soedirdja. Sementara dari kalangan peserta musyawarah hadir antara lain, Gubernur Kalimantan Barat Asfar Aswin, Gubernur Kalimantan Timur Suwarna Abdul Fatah, Gubernur Kalimantan Tengah Asmawi A Gani, Gubernur Kalimantan Selatan Sjachriel D, Gubernur Jawa Timur Imam Oetomo serta para sesepuh Dayak dan Pakar Sosiologi Universitas Indonesia Selo Soemarjan. Sebelumnya, peserta musyawarah telah bersidang di Kemayoran Jakarta, dan dihadiri oleh Wapres Megawati Soekarnoputri serta Menkopososkam Susilo Bambang Yudhoyono. 
Sayangnya, Gusdur hanya menyatakan ucapan tersebut sekali waktu. Saat ia menjabat sebagai Presiden, beberapa sikap dan per­ilaku yang tidak menarik diperton­tonkan oleh Gus Dur dihadapan publik ketika dinobatkan sebagai Presiden. Antara lain mengada­kan kunjungan keluar negeri yang berlebihan dengan setumpuk ala­san pembenaran.
Menurut Tokoh Madura Kalimantan Timur (Kaltim), Presiden Abdurrahman Wahid bertanggung jawab terhadap tragedy kemanusiaan di Sampit dan Palangka Raya. Karena, Pemerintah sangat lamban dalam mengatasi pertikaian yang menelan ratusan korban jiwa tersebut.
“Yang kita sesalkan, saat terjadi pembantaian sesama rakyat Indonesia, ia (Gusdur) selaku Presiden RI lebih memilih melanjutkan perjalanan ke luar negeri yang belum tentu bermanfaat bagi Negara ini,” kata K.H. Syafi’i, Ketua Presidium Forum Komunikasi Persaudaraan Antarmasyarakat Kaltim (FKPMKT)
“Kita lihat dalam sejarah sejak Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, hingga Gusdur jadi Presiden, tragedi kemanusiaan paling dahsyat terjadi pada Pemerintahan Abdurrahman Wahid, dan yang memprihatinkan Presiden kita tersebut seakan-akan tidak memiliki rasa keprihatinan.”
C.  Konflik Sampit Menurut Kajian Sosiologi
Konflik berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Sehingga konflik antar suku bangsa dapat diartikan sebagai sesuatu yang dianggap baik atau sakral dari suku tertentu mungkin tidak demikian halnya bagi suku lain. Perbedaan etnis tersebut dapat menimbulkan terjadinya konflik antar etnis. Misalnya konflik etnis di kalimantan antara suku dayak dan suku madura pendatang. Bagi suku madura pendatang bekerja adalah suatu tuntutan bagi pemenuhan hidup di perantauan. Pekerjaan yang dilakukan menebang kayu di hutan dan tempat dimana mereka menebang kayu tersebut adalah tempat yang disakralkan oleh suku dayak. Kesalahpahaman ini menyebabkan terjadinya konflik antar etnik dayak dan madura yang menelan korban banyak di antara kedua suku yang berkonflik tersebut.
Konflik etnis adalah konflik yang terkait dengan permasalahan- permasalahan mendesak mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teritorial di antara dua komunitas etnis atau lebih. (Brown, 1997).
Konflik lebih sering terjadi karena berbagai sebab sekaligus. Kadangkala antara sebab yang satu dengan yang lain tumpang tindih sehingga sulit menentukan mana sebenarnya penyebab konflik yang utama. Faturochman (2003) menyebutkan setidaknya ada enam hal yang biasa melatarbelakangi terjadinya konflik:
1) Kepentingan yang sama diantara beberapa pihak,
2) Perebutan sumber daya,
3) Sumber daya yang terbatas,
4) Kategori atau identitas yang berbeda,
5) Prasangka atau diskriminasi,
6) Ketidakjelasan aturan (ketidakadilan).

Dampak negatif dari konflik yaitu keretakkan hubungan antarindividu dan persatuan kelompok, kerusakkan harta benda benda dan hilangnya nyawa manusia, berubahnya kepribadian para individu, dan munculnya dominasi kelompok pemenang.

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk penyelesaian konflik tersebut, yaitu :  
1.   Abitrasi, yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga dalam hal ini pemerintah dan aparat penegak hukum yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak dengan memberikan sanksi yang tegas apabila. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal.
2.   Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan yang mengikat.
3.   Konsiliasi, yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama..
4.   Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur .
5.   Adjudication (ajudikasi), yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan dengan mengutamakan sisi keadilan dan tidak memihak kepada siapapun.

Untuk mengurangi kasus konflik sosial diperlukan suatu upaya pembinaan yang efektif dan berhasil, diperlukan pula tatanan, perangkat dan kebijakan yang tepat guna memperkukuh integrasi nasional antara lain :
a.    Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu.
b.    Menciptakan kondisi dan membiasakan diri untuk selalu membangun consensus.
c.    Membangun kelembagaan (pranata) yang berakarkan nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa.
d.    Merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam aspek kehidupan dan pembangunan bangsa yang mencerminkan keadilan bagi semua pihak, semua wilayah.
e.    Upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan bijaksana, serta efektif.

Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah :
a.    Aspek kualitas warga sukubangsa
1)    Perlunya diberikan pemahaman dan pembinaan mental secara konsisten dan berkesinambungan terhadap para warga sukubangsa di Indonesia terhadap eksistensi Bhinneka Tunggal Ika sebagai faktor pemersatu keanekaragaman di Indonesia, bukan sebagai faktor pemicu perpecahan atau konflik.
2)    Perlunya diberikan pemahaman kepada para pihak yang terlibat konflik untuk meniadakan stereotip dan prasangka yang ada pada kedua belah pihak dengan cara memberikan pengakuan bahwa masing-masing pihak adalah sederajat dan melalui kesederajatan tersebut masing-masing anggota sukubangsa berupaya untuk saling memahami perbedaan yang mereka punyai serta menaati berbagai norma dan hukum yang berlaku di dalam masyarakat.
3)    Adanya kesediaan dari kedua belah pihak yang terlibat konflik untuk saling memaafkan dan melupakan peristiwa yang telah terjadi.
b.    Penerapan model Polmas secara sinkron dengan model Patron-Klien.
Terjadinya perdamaian pada konflik antar sukubangsa yang telah terwujud dalam sebuah konflik fisik tidaklah mudah sehingga perlu adanya campur tangan pihak ketiga yang memiliki kapabilitas sebagai orang atau badan organisasi yang dihormati dan dipercaya kesungguhan hatinya serta ketidakberpihakannya terhadap kedua belah pihak yang terlibat konflik. Peran selaku pihak ketiga dimaksud dapat dilakukan oleh Polri sebagai ”juru damai” dalam rangka mewujudkan situasi yang kondusif dalam hubungan antar sukubangsa dengan memberi kesempatan terjadinya perdamaian dimaksud seiring berjalannya proses penyidikan yang dilandasi pemikiran pencapaian hasil yang lebih penting dari sekedar proses penegakkan hukum berupa keharmonisan hubungan antar sukubangsa yang berkesinambungan. Dalam hal ini, Polri dapat menerapkan metode Polmas dengan melibatkan para tokoh dari masing-masing suku bangsa Ambon dan Flores yang merupakan Patron dari kedua belah pihak yang terlibat konflik yang tujuannya adalah agar permasalahan yang terjadi dapat terselesaikan secara arif dan bijaksana oleh, dari dan untuk kedua sukubangsa dimaksud termasuk dalam hal menghadapi permasalahan- permasalahan lainnya di waktu yang akan datang.

Teori yang Terkait:
1.    Teori Konflik
Dalam suatu masyarakat akan selalu ada kelompok atas yang menguasai kelompok bawah, kelompok ini dibagi berdasarkan kekuasaan, kemampuan, kekayaan, kekuatan, dsb. Kelompok bawah (yang lemah) akan “ditindas” dan menjalankan kehendak kelompok atas. Fenomena ini akhirnya memicu timbulnya konflik antar kelompok. Selain hal tersebut kurangnya integrasi dalam masyarakat, perbedaan paham atau kepentingan juga sebagai faktor timbulnya konflik.
2.    Teori Perubahan Sosial
Masyarakat tumbuh dan berkembang menuju arah yang lebih baik atau lebih kompleks, namun proses mewujudkan hal tersebut tidaklah mudah. Banyak hal yang kadang tidak mendukung perubahan tersebut, akhirnya timbullah konflik.
3.    Teori Struktural Fungsional
Suatu masyarakat memiliki struktur sosial yang di dalamnya terdapat sistem, yang mana sistem- sistem tersebut fungsi masing- masing. Apabila salah sistem tidak berfungsi, maka struktur tersebut akan cacat. Kecacatan itulah yang dapat memicu timbulnya konflik
4.    Teori Labeling
Labeling atau pemberian stigma pada seseorang atau suatu kelompok dalam mempengaruhi pembentukan kepribadiaanya. Misalnya, suatu suku diberikan stigma bahwa suku tersebut keras, senggol bacok. Maka suatu ketika ada suku lain yang membuat hatinya tersinggung tidak dapat dipungkiri akan muncul konflik antar kelompok yang bersangkutan.
5.    Teori Interaksi
Dalam proses sosialisasi, interaksi adalah salah satu faktor utama. Apabila interaksi sangat kurang, tidak ada pemahaman antara yang satu dengan yang lain maka dapat mempengaruhi proses sosialisasi yang sedang berlangsung. Kurangnya pemahaman dapat timbul konflik dalam masyarakat tersebut.

Daftar Pustaka

https://albionbengkirai.wordpress.com/2014/06/20/konflik-antar-suku-di-indonesia-tugas-ibd-4/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar