BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Ilmu
filologi berhubungan erat dengan bahasa, sastra, dan budaya. Filologi menelaah
bahasa, sastra, dan budaya itu dengan bersumber pada naskah-naskah kuno.
Dalam
ilmu filologi, kita akan menemukan sebuah ilmu yang bernama kodikologi.
Kodikologi sendiri bukanlah sebuah ilmu yang baru. Jika filologi mengkhususkan
pada pemahaman isi teks atau kandungan teks, kodikologi khusus membahas
seluk-beluk dan segala aspek sejarah naskah. Dari bahan naskah, tempat
penulisan, perkiraan penulis naskah, jenis dan asal kertas, bentuk dan asal cap
kertas, jenis tulisan, gambar atau ilustrasi, hiasan atau iluminasi, dan
lain-lain. Tugas kodikologi selanjutnya adalah mengetahui sejarah naskah,
sejarah koleksi naskah, meneliti tempat-tempat naskah sebenarnya, menyusun
daftar katalog naskah, menyusuri perdagangan naskah, sampai pada penggunaan
naskah-naskah itu.
Dewasa
ini, banyak di antara kita yang tidak mengetahui bagaimana sejarah
naskah-naskah kuno bangsa Indonesia. Padahal, dari naskah-naskah kuno itu dapat
diketahui pula perkembangan bahasa, sastra, budaya, moral, dan intelektual
suatu bangsa.
1.2.
RUMUSAN MASALAH
Adapun
yang menjadi permasalahan dari makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Apa
itu ilmu kodikologi?
2. Apa
saja yang dipelajari dalam ilmu kodikologi?
3. Apa
itu kolofon?
4. Apa
itu iluminasi?
5. Bagaimana
seluk beluk dan aspek sejarah naskah?
1.3.
TUJUAN DAN MANFAAT
Adapun
tujuan dalam penulisan makalah ini yaitu untuk mendeskripsikan seperti apa ilmu
kodikologi sesuai dengan pernaskahan.
Sedangkan
manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan makalah ini yaitu:
1. Bagi
penulis, makalah ini dapat memberikan pengetahuan tentang kajian ilmu
kodikologi dan seluk beluk pernaskahan
2. Bagi
pembaca, makalah ini dapat menambah khasanah pengetahuan tentang kajian ilmu
kodikologi dan seluk beluk pernaskahan serta dapat dijadikan sebagai bahan
diskusi sekaligus penunjang pada mata kuliah yang bersangkutan.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1.KODIKOLOGI
Istilah kodikologi berasal dari kata
Latin ‘codex’ (bentuk tunggal; bentuk jamak ‘codies’) yang dalam bahasa
Indonesia diterjemahkan menjadi ‘naskah’–bukan menjadi ‘kodeks’.
Mulyadi (1994:1) mengatakan kata
’caudex’ atau ‘codex’ dalam bahasa Latin menunjukkan hubungan pemanfaatan kayu
sebagai alas tulis yang pada dasarnya kata itu berarti ‘teras batang pohon’.
Robson (1978:26) dalam Mulyadi (1994:2)
menyebut kodikologi sebagai ‘pelajaran naskah’. Sedangkan Baried menguraikan
sebagai berikut: Kodikologi ialah ilmu kodeks. Kodeks adalah bahan tulisan
tangan …. Kodikologi mempelajari seluk-beluk semua aspek naskah, antara lain
bahan, umur, tempat penulisan, dan perkiraan penulis naskah (1985:55).
Hermans dan Huisman (1979/1980:6) dalam
Mulyadi (1994:2) menjelaskan bahwa kodikologi (codicologie) diusulkan oleh
seorang ahli bahasa Yunani, Alphonse Dain, dalam kuliah-kuliahnya di Ecole
Normale Superieure, Paris, pada bulan Februari 1944. Istilah ini baru terkenal
pada tahun 1949, ketika karyanya, Les
Manuscrits, diterbitkan untuk pertama kali pada tahun tersebut.
Dain (1975:76) dalam Mulyadi (1994:2) sendiri
menjelaskan bahwa kodikologi ialah ilmu mengenai naskah-naskah dan bukan ilmu
yang mempelajari apa yang tertulis di dalam naskah. Ditambahkannya pula bahwa
walaupun kata ini baru, ilmu kodikologi sendiri bukanlah ilmu yang baru.
Selanjutnya, tugas kodikologi antara
lain ialah sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, penelitian mengenai tempat
naskah-naskah yang sebenarnya, masalah penyusunan katalog, penyusunan daftar
katalog, perdagangan naskah, dan penggunaan naskah-naskah itu (Dain, 1975:77
dalam Mulyadi, 1994:2).
Istilah lain yang dapat dipakai di
samping istilah naskah ialah istilah manuskrip (bahasa Inggris manuscript). Kata manuscript diambil dari ungkapan Latin codicesmanu scripti (artinya, buku-buku yang ditulis dengan tangan)
(Madan, 1983:1 dalam Mulyadi, 1994:). Kata manu
berasal dari manus yang berarti
tangan dan scriptusx berasal dari scribere yang berarti menulis (Mamat,
1988:3 dalam Mulyadi, 1994:3).
Dalam bahasa-bahasa lain terdapat
kata-kata handschrift (Belanda), handschrifen (Jerman), dan manuscrit (Prancis). Dalam berbagai
katalogus, kata manuscript dan manuscrit biasanya disingkat menjadi MS
untuk bentuk tunggal dan MSS untuk bentuk jamak, sedangkan handschrift dan handschrifen
disingkat menjadi HS dan HSS.
Di dalam kodikologi atau ilmu
pernaskahan—juga di dalam ilmu filologi—kita harus membedakan antara kata naskah dan teks. Secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan teks ialah apa yang terdapat di dalam
suatu naskah. Dengan perkataan lain, teks merupakan isi naskah atau kandungan
naskah, sedangkan naskah adalah wujud
fisiknya.
Suatu naskah dapat saja terdiri atas
beberapa teks, sebaliknya, suatu teks dapat tertulis di dalam lebih dari satu
naskah. Kalau melihat berbagai katalogus, suatu naskah dapat saja terdiri atas
satu helai, umpamanya, naskah yang berupa surat.
1.2.KOLOFON
Di dalam suatu naskah tidak selalu
terdapat nama penulis, penyalin, atau keterangan-keterangan lain. Jika
informasi semacam itu ada, dapat ditemukan pada halaman judul sebelum awal teks
atau pada akhir teks. Keterangan lain yang dapat diperoleh terdiri atas tempat
penulisan dan tanggal. Kadang terdapat penyebutan nama orang yang meminta
penulisan maupun penyalinan naskah tertentu. Ada juga yang mencantumkan nama
pemilik naskah. Bagian yang memberi informasi bermacam-macam inilah disebut
kolofon (dari bahasa Yunani, kolophon).
Jadi, informasi yang dapat ditemukan
dalam kolofon adalah:
1. Judul
Naskah
2. Nama
Penulis/Penyalin Naskah
3. Tempat
dan Tanggal Penulisan Naskah
4. Nama
yang Meminta Penulisan/Penyalinan Naskah
5. Nama
Pemilik Naskah
6. Harga
Sewa
Kolofon dapat ditulis dalam dua tiga
kalimat saja, tetapi ada yang berupa syair atau diikuti oleh syair yang
kadang-kadang berbait-bait panjangnya. Berikut adalah contoh kolofon yang
diambil dari beberapa naskah:
(1) Tamat
Hikayat Indraputra pada Hijrat seribu seratus sepuluh esa pada Sembilan likur
hari bulan Rajab pada hari Arbaa dan pada waktu lohor (Mulyadi, 1983: 206 dalam
Mulyadi, 1994:74).
Maksudnya adalah, telah
tamat Hikayat Indraputra pada tahun 1111 ada tanggal Sembilan belas, bulan
Rajab, hari Rabu, pada waktu zuhur.
(2) Demikianlah
adat segala raja-raja Melayu. Tamat kepada dua likur hari bulan Syakban hari
Isnin jam pukul sepuluh dan yang punya surat ini tuan Raja Pakur. Sanat 1232
(Sudjiman, 1983: 95 dalam Mulyadi, 1994:74).
Maksudnya adalah, telah
tamat adat segala raja-raja Melayu pada tanggal 12, bulan Sya’ban, hari Senin,
pukul sepuluh, dan yang mempunyai surat ini Raja Pakur.
(3) Tamatlah
Hikayat Pandawa Jaya daripada karangan orang yang bijaksana itu. Arif segala
Tuan-Tuan membaca dia atau mendengar dia. Jikalau kurang Tuan-Tuan tolong
buangkan dan jikalau lebih, Tuan-Tuan tambahi karena hamba tiada sempat. Lagi
barang siapa Tuan-Tuan hendak menyewa, sewanya sehari setalen dan jikalau Tuan-Tuan
hendak meminjam tiga hari tiga malam juga. Adalah seperti kata orang:
Rusa lembu di atas
kota,
Diparang oleh Maharaja
Rawana,
Jemu tak jemu Tuan
membaca,
Segeralah pulangkan
pada yang punya.
Jikalau Tuan-Tuan yang
sudi meminjam
Jangan sekali suka
memendam,
Membaca dia dengan
gurindam
Tiga hari tiga malam
Tuan pulangkan.
Hai Tuan-Tuan yang
membaca,
Barang yang kurang
Tuanku tambah,
Barang yang lebih
Tuanku ubah,
Supaya yang mendengar
suka bertambah.
Jika Tuan-Tuan yang
sudi membaca,
Janganlah jemu
janganlah peca,
Demikian pula janganlah
basa [h],
Kertas dawat janganlah
binasa-binasa.
Jika diurut seperti
kata,
Tiadalah jadi yang
punya melata,
Tuan-Tuan turut seperti
kata,
Tiadalah Tuan jadi
dinista.
Hamba berperan
berperi-peri,
Pada sanak saudara
sendiri,
Jikalau dibaca jangan
makan sirih,
Karena hikayat ini
sukar dicari-cari.
Karena hamba kurang
pendapat,
Jikalau salah jangan
diumpat,
Jikalau ada huruf yang
galat,
Tuan-Tuan tambahi
dengan isyarat.
(Naskah MI. 91:
274; lihat juga : Hussai, 1964: 247-248 dalam Mulyadi, 1994:74-75)
1.3.ILUMINASI
Iluminasi adalah istilah khusus dalam
ilmu pernaskahan (kodikologi) untuk menyebut gambar dalam naskah. Istilah itu
pada awalnya digunakan sehubungan dengan penyepuhan emas pada beberapa halaman
naskah untuk memperoleh keindahan. Pada perkembangannya, iluminasi yang semula
mengacu pada gambar muka (frontispiece),
tidak lagi sekadar hiasan tetapi menjadi meluas maknanya karena juga berkaitan
dengan teks (Folsom, 1990: 40 dalam Mulyadi, 1994:72).
Naskah beriluminasi dalam bentuk surat
pernah didaftar dalam dua buku, yakni Golden
Letters: Writing Traditions of Indonesia; Surat Emas: Budaya Tulis di Indonesia
(Gallop & Arps 1991) dan The Legacy
of the Malay Letter, Warisan Warkah Melayu (Gallop 1994).
Surat beriluminasi berbahasa Melayu yang
termegah adalah surat Sultan Iskandar Muda dari Aceh (1607-1636) kepada Raja
James I di Inggris yang ditulis pada tahun 1612. Surat yang panjangnya hamper
satu meter itu sangat kaya dengan motif bunga popi (poppy) atau madat (papaver)
yang ditaburi emas (Gallop & Arps, 1991:35-50 dalam Mulyadi, 1994:72).
Selain surat itu, masih banyak surat beriluminasi yang ditulis oleh para raja
di Nusantara kepada para pejabat pemerintah Kolonial atau sebaliknya. Iluminasi
pada surat-surat itu umumnya digambar dengan rapi, cantik, dan memukau.
Motifnya sangat bervariasi, sebagian besar berbentuk miniatur, seperti kubah,
bunga, mahkota, pita, dan bentuk geometrik.
1.1.1.
TIGA
GAYA ILUMINASI
a.
Gaya
Tebaran
Dalam iluminasi bergaya
tebaran, teks atau tulisan menjadi pusat, sedangkan hiasan bertebaran di
seluruh muka halaman, termasuk tempat penulisan teks. Dalam struktur hiasan ini
ada tiga unsur penting:
a. Teks
b. Bingkai
pembatas bidang dalam
c. Hiasan
halaman
b.
Gaya
Empat Sisi
Gaya ini adalah hiasan
pada semua sisi halaman. Hiasan ini sangat bermacam-macam, terutama dilihat
hiasan di atas teks. Pada dasarnya struktur iluminasi dalam jenis ini terbagi
dalam 8 bagian, yakni:
a. Bingkai
pembatas bidang dalam
b. Hiasan
sisi kanan
c. Hiasan
sisi atas
d. Hiasan
di atas teks
e. Hiasan
sisi kiri
f. Hiasan
sisi bawah
g. Bingkai
pembatas teks
h. Teks
c.
Gaya
Tiga Sisi
Struktur hiasan tiga
sisi pada dasarnya sama dengan gaya empat sisi, hanya pada hiasan ini tidak
terdapat gambar pada sisi bawah. Hiasan itu terdapat pada:
a. Bingkai
pembatas bidang dalam
b. Hiasan
sisi kanan
c. Hiasan
sisi atas
d. Hiasan
di atas teks
e. Hiasan
sisi kiri
f. Bingkai
pembatas teks
g. Teks
1.2.
ALAS NASKAH
Alas naskah ialah segala sesuatu yang
dipakai untuk menulis sehingga terbentuk suatu naskah. Pada masa lampau, tulisan-tulisan
diabadikan pada bambu (Cina), daun palma (India dan Asia Tenggara), batu-batu
bata yang terbuat dari tanah liat (Mesopotamia), papirus (Mesir), baja, bahan
linen, velum, sutera, perkamen, dan kertas.
Naskah-naskah di Indonesia sendiri
memakai kertas daluwang, daun lontar, daun nipah, kulit kayu, bambu, dan rotan
(Jusuf, 1982/1983: 11 dalam Mulyadi, 1994:44).
Daun lontar sampai sekarang masih
dipakai di daerah-daerah Bali dan Lombok. Naskah-naskah dari daun lontar
terdapat juga di tanah Kerinci (Voorhoeve, 1970: 380, 390 dalam Mulyadi, 1994:45).
Naskah-naskah di Batak memanfaatkan
kulit kayu sebagai alas naskah. Kulit kayu sebagai alas naskah tidak hanya
terdapat di daerah Batak, tetapi juga dipakai untuk naskah-naskah berhuruf
rencong, bahkan juga dipakai untuk berkirim surat kepada seorang pejabat
Belanda di Singkel (Jones, 1992: 19; Appendix A dalam Mulyadi, 1994:45).
Daluwang adalah kertas yang dibuat dengan kayu
sebagai campuran (Soetikna, 1939: 191-194; Noorduyn, 1965: 472-473 dalam
Mulyadi, 1994:44). Kertas daluwang dahulu dibuat di pesantren Tegalsari,
Ponorogo.
Naskah-naskah Melayu umumnya ditulis di
atas kertas yang bermacam-macam ragamnya. Ada yang polos putih (dalam
perjalanan waktu menjadi kekuning-kuningan, bahkan ada yang sudah berwarna
cokelat muda), biru muda, ada yang bergaris macam-macam (horisontal, horisontal
dan vertikal), bahkan ada yang menggunakan kertas bergaris untuk penghitungan
uang. Ukurannya pun bermacam-macam; ada yang ukuran octavo (8
), kuarto (4
), maupun folio (2
).
Kertas
merupakan ciptaan seorang Cina bernama Tsai Lun, seorang menteri pada zaman
pemerintahan Kaisar Wu Di dari Dinasti Han pada tahun 105. Hasil penemuan ini
menggantikan sutera sebagai alas tulis (Gaur, 1979: 30 dalam Mulyadi, 1994:59).
Selama enam ratus tahun pertama, kertas hanya dikenal di Cina. Cara
pembuatannya sangat dirahasiakan dan “industri” kertas dianggap sebagai monopoli
pemerintah. Pada tahun 751, Samarkandia yang diperintah seorang gubernur Muslim
diserang oleh pasukan Cina. 20.000 tentara Cina tertawan; beberapa di antaranya
ahli dalam pembuatan kertas. Entah berdasarkan sukarela, atau paksaan untuk
membuka rahasia mereka pengetahuan mengenai pembuatan kertas akhirnya dapat
dimanfaatkan di Samarkandia. Selama seratus tahun, kertas Samarkandia menjadi
bahan ekspor yang penting sebagai kertas Cina. Berturut-turut pembuatan kertas
dikerjakan pula di Timur Tengah; Bagdad, Damsyik, dan Kairo. Dalam abad ke-12,
pengetahuan pembuatan kertas sudah menyebar sampai ke Spanyol dan Sisilia. Abad
berikutnya, kertas sampai ke India. Sejak Spanyol direbut dari tangan-tangan
orang Arab, mutu kertas mulai turun (Gaur, 1979: 33 dalam Mulyadi, 1994:60).
Kertas masuk ke Indonesia pada saat
pemerintah Hindia Belanda dan dunia perdagangan mempergunakan kertas dari
Belanda untuk keperluan administrasi dan surat menyurat mereka. Impor kertas
dari negara-negara lain tidak banyak (Voorn, 1978: 4 dalam Mulyadi, 1994:60).
Mengenai impor kertas pada zaman VOC, ada tiga arus kertas ke Indonesia. Arus
dari Belanda; dari Inggris, terutama ke Malaysia; dan dari Itali sebelah timur
laut yang dahulu termasuk Kerajaan Austria (Jones, 1992: 5 dalam Mulyadi, 1994:61).
1.1.
CAP KERTAS
Cap kertas (watermark) ialah semacam “gambar” pada kertas—dapat dilihat dengan
nyata, jika dilihat di tempat yang ada sinar matahari atau lampu—yang juga
terdapat pada uang kertas dan perangko.
Jika kertas itu dilihat di tempat yang
terang akan jelas tampak garis-garis tipis. Kalau dihitung, per sentimeter
terdapat 8-12 garis tipis (laid lines).
Jika dilihat bahwa garis-garis tipis ini di dalam posisi horisontal, dapat
dilihat pula garis-garis yang vertikal yang biasanya berjarak sekitar 2,5 cm.
Garis-garis ini disebut garis tebal (chain
line).
Menurut Edward Heawood cap kertas yang
tertua terdapat pada kertas buatan Italia yang dibuat di Fabriano pada tahun
1282. Tujuan utama untuk mencantumkan cap kertas yang merupakan suatu tanda
dagang (trade-mark) ini ialah untuk
menunjukkan kualitas, ukuran, atau pembuat kertasnya. Kira-kira pada tahun
1600-1750 muncul pula cap kertas tandingan (countermark),
yaitu cap kertas yang menemani cap kertas (Heawood, 1950: 6-12 dalam Mulyadi,
1994:63).
1.2.
PENULISAN DAN PENYALINAN NASKAH
Penulis-penulis naskah di Indonesia,
baik penulis naskah Melayu maupun penulis naskah dalam berbagai bahasa daerah,
sebagian besar tidak mencantumkan namanya. Hanya beberapa nama saja yang dapat
diketahui. Biasanya, penulisan nama terdapat pada kolofon, yaitu bagian akhir
tulisan yang di luar teks. Di dalam kolofon, di samping nama penulis atau
penyalin naskah, dapat pula ditemukan tanggal dan tahun penulisan, tempat
penulisan; bahkan, kadang-kadang ada pula permintaan pembaca untuk memperbaiki
hasil kerjanya.
Contoh naskah yang terdapat salinannya
adalah naskah-naskah Riau. Berikut adalah perbedaan ciri fisik naskah Riau
koleksi Yayasan Indra Sakti, Perpustakaan Nasional, dan Perpustakaan
Universitas Leiden:
a. Yayasan
Indra Sakti
- Tulisan
umumnya dikatakan kurang rapi.
- Format
naskah sebagian besar berukuran kuarto karena sebagian besar memakai buku
bergaris.
- Kertas
yang digunakan ada yang berupa kertas bergaris, ada juga kertas yang tidak
memiliki cap kertas.
- Kebanyakan
naskah-naskah Yayasan Indra Sakti berhalaman judul. Meskipun bagian
halaman itu hilang, pada halaman berikutnya masih disebut lagi.
- Dalam
beberapa naskah ditemukan daftar isi pada bagian awal.
- Sebagian
besar naskah yayasan itu memiliki kolofon. Bahkan menyebutkan nama kampung
tempat menyalin naskah.
- Iluminasi
pada umumnya tidak ditemukan, sedangkan ilustrasi ada.
- Naskah-naskah
Yayasan Indra Sakti pada umumnya tidak teratur dan tidak rapi. Pada
umumnya tidak bergaris bingkai, tetapi menggunakan garis panduan.
- Pada
umumnya naskah Yayasan Indra Sakti tidak dijilid atau tidak bersampul.
- Naskah-naskah
Yayasan Indra Sakti pada umumnya terbagi atas beberapa bab dan bab itu
ditempatkan secara khusus pada tengah halaman.
- Rubrikasi
dalam naskah-naskah Yayasan Indra Sakti hanya ada pada beberapa naskah.
- Alat
tulis yang dipakai untuk menyalin naskah-naskah ini berupa tinta hitam dan
biru, banyak pula yang menggunakan pensil.
b. Perpustakaan
Nasional
- Umumnya
tulisan lebih rapi bila dibandingkan dengan Yayasan Indra Sakti.
- Format
naskah sebagian besar folio, ada juga yang kuarto.
- Naskah-naskah
disalin di atas kertas Eropa.
- Halaman
judul sebagian besar ada pada halaman awal.
- Daftar
isi ditemukan dalam beberapa naskah pada bagian awal.
- Kolofon
sebagian ada yang ditulis di bagian belakang dan ada yang ditulis pada
bagian permulaan.
- Iluminasi
dan ilustrasi tidak satu pun yang ada dalam koleksi ini.
- Naskah-naskah
koleksi Perpustakaan Nasional berpias teratur, ada garis panduang, dan
berbingkai.
- Penjilidan
diseragamkan dengan karton tebal dengan motif bintik-bintik dengan variasi
warna cokelat, krem, dan cokelat tua, serta ungu.
- Penulisan
isi ada yang dibagi dengan pembagian bab atas pasal.
- Rubrikasi
dalam naskah koleksi perpustakaan ada dengan menggunakan tinta merah untuk
menandai alinea, nama-nama, dan kata Arab.
- Alat
tulis yang digunakan seragam, yakni tinta hitam, biru, atau merah.
c. Perpustakaan
Universitas Leiden
- Pada
umumnya tulisan rapid an baik.
- Format
naskah sebagian besar folio, ada juga yang kuarto.
- Naskah-naskah
disalin di atas kertas Eropa.
- Halaman
judul sebagian besar ada.
- Ada
beberapa naskah yang menyebutkan daftar isi.
- Kolofon
sebagian ada yang ditulis di bagian belakang dan ada yang ditulis pada
bagian permulaan.
- Iluminasi
dan ilustrasi tidak satu pun ditemukan.
- Naskah
koleksi perpustakaan ini sama rapinya dengan koleksi Perpustakaan
Nasional.
- Penjilidan
diseragamkan dengan karton tebal dengan motif bintik-bintik dengan variasi
warna cokelat, krem, dan cokelat tua, serta ungu.
- Sebagian
besar penulisan dibagi atas bab.
- Rubrikasi
dalam naskah koleksi perpustakaan ada dengan menggunakan tinta merah untuk
menandai alinea, nama-nama, dan kata Arab.
- Alat tulis
yang digunakan seragam, yakni tinta hitam, biru, atau merah.
1.3.
KEMUSNAHAN DAN PEMUSNAHAN NASKAH
Kemusnahan naskah atau hilangnya naskah
dari Indonesia disebabkan oleh hal-hal yang tidak sengaja, sedangkan pemusnahan
naskah ialah akibat ulah manusia, baik disengaja maupun yang tidak disengaja.
Kemusnahan naskah di daerah tropis
seperti Indonesia disebabkan karena kerusakan alas naskah—seperti kertas,
lontar, dan nipah—karena tidak dapat bertahan terhadap iklim. Dapat juga
terjadi karena ulah serangga, berupa kutu yang mungkin saja membuat naskah
demikian rusaknya, sehingga tidak dapat dipakai lagi karena tidak terbaca isinya.
Rusak atau hancurnya naskah-naskah itu
sebagian disebabkan oleh musibah yang menimpa sebagian naskah-naskah itu
(terbakar, bencana banjir, hilang, dan dimakan zaman atau dimakan serangga),
ada pula akibat kesengajaan untuk dimusnahkan (dibakar, tidak dipelihara, dan
lain-lain), dan ada yang karena kelalaian pemiliknya, seperti ditinggalkan
mengungsi, terlupakan memeliharanya, dan lain-lain (Ekadjati et al., 1988: 11
dalam Mulyadi, 1994:79).
Pemusnahan yang tidak disengaja
contohnya yang telah terjadi di Cirebon. Di Keraton Kasepuhan Cirebon tersimpan
naskah sebanyak dua peti yang pada suatu waktu ditempatkan di dalam tanah tanpa
diperiksa lagi. Pada saat peti itu dibuka tahun 1980, ternyata naskah-naskahnya
telah hancur dimakan ngengat (Ekadjati et al., 1988: 7, 8, 14 dalam Mulyadi,
1994:79). Banjir yang melanda kota Bandung pada bulan Desember 1945 juga
menghancurkan naskah milik penduduk. Naskah milik penduduk di Cijenuk, daerah
kabupaten Bandung, sebagian terbakar karena rumah-rumah dibakar oleh gerombolan
Kartosuwiryo. Bahkan, satu peti naskah yang disembunyikan di dalam tanah oleh
penduduk Astanajapura di kabupaten Cirebon agar tidak jatuh ke tangan
pemerintah kolonial, ternyata akhirnya hancur (Ekadjati, 1985: 16 dalam
Mulyadi, 1994:79).
Pada waktu peperangan gerilya di Aceh
abad yang lalu, pemerintah Belanda tahu bahwa ada hasil sastra yang beredar di
antara masyarakat, yang menyebabkan mereka tidak patah semangat melawan tentara
Belanda yang bersenjatakan meriam dan senapan. Maka, Belanda membakar rumah T.
Rali Mahkul Adil, salah seorang menteri Kerajaan Aceh pada tahun 1873, sehingga
musnahlah arsip Kerajaan Aceh. Lalu, tempat pengajian agama atau dayah yang
memiliki kitab-kitab dan menjadi pusat-pusat kegiatan perlawanan pun dibakar
habis oleh Belanda. Arsip Sultan Aceh bersama dokumen-dokumen sejarah yang lain
turut dimakan api ketika rumah Panglima Polim di Pemayong dibakar pada waktu
agresi Belanda tahun 1873 (Alfian, 1987: 30-31 dalam Mulyadi, 1994:80).
Pada abad ke-17 di Aceh, karya-karya
Syamsudin Pasai telah dibakar karena pertentangan pendapat dalam masalah
keagamaan dengan Nuruddin ar-Raniri (Iskandar, 1987: 438 dalam Mulyadi, 1994:).
Buku-buku yang berisikan ajaran Wujudiah, yaitu ajaran tasawuf Hamzah Fansuri,
dibakar di depan masjid Baitul-Rahman, di kota Raja, Aceh, pada waktu
pemerintahan Sultan Iskandar Thani (1637-1641) atas nasihat Nuruddin ar-Raniri
(Hassan, 1987: 10-11 dalam Mulyadi, 1994:81).
Salah satu episode dalam Babad Kediri
mengisahkan bahwa sesudah Majapahit jatuh, Sultan Demak memerintahkan
pembakaran semua buku keagamaan dan kesejarahan (Drewes, 1966: 320 dalam
Mulyadi, 1994:81).
Tidak jarang juga orang dahulu menyobek
sebagian dari naskah yang dianggap keramat untuk campuran obat yang diminumkan
kepada si sakit. Pemusnahan naskah dapat juga terjadi karena suasana politik.
Perang Kemerdekaan (1945-1949) yang disusul oleh pemberontakan Kartosuwiryo
(1951-1962) menimbulkan suasana ketidaktenangan dan menimbulkan anggapan bahwa
tulisan-tulisan lama itu berisi bid’ah (Sukanda-Tessier, 1992: 279 dalam
Mulyadi, 1994:81).
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Dari
beberapa pembahasan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Kodikologi
adalah satu bidang ilmu yang biasanya bekerja sama dengan bidang ilmu filologi.
Jika filologi mengkhususkan pada pemahaman isi teks/kandungan teks, kodikologi
khusus membahas seluk-beluk dan segala aspek sejarah naskah. Dari bahan naskah,
tempat penulisan, perkiraan penulis naskah, jenis dan asal kertas, bentuk dan
asal cap kertas, jenis tulisan, gambar/ilustrasi, hiasan/illuminasi, dan
lain-lain.
2. Ragam
hias yang terdapat pada sebuah naskah dapat dibedakan menjadi: iluminasi, yakni
hiasan bingkai yang biasanya terdapat pada halaman awal dan mungkin juga pada
halaman akhir; dan ilustrasi, yaitu hiasan yang mendukung teks.
3.2.
SARAN
Berdasarkan
uraian-uraian di atas, dapat diajukan beberapa saran untuk dijadikan sebagai
bahan pertimbangan, sebagai berikut:
1. Kepada
mahasiswa, agar memanfaatkan makalah ini untuk memahami segala sesuatu yang
berhubungan dengan topik pembahasan ini yaitu tentang “Kodikologi”.
2.
Kepada para pembaca dan penulis lain,
agar lebih banyak lagi mengkaji tentang Kodikologi terutama yang berhubungan
dengan usia naskah.
DAFTAR PUSTAKA
Attas,
Siti Gomo. 2015. Bahan Ajar Pengantar
Teori Filologi, Penerapan dan Aplikasi. Jakarta: Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Negeri Jakarta.
Mu’jizah.
2009. Iluminasi dalam Surat-Surat Melayu
Abad ke-18 dan ke-19. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Muj’jizah
dan Maria Indra Rukmi. 1998. Penelusuran
Penyalinan Naskah-Naskah Riau Abad XIX: Sebuah Kajian Kodikologi. Depok:
Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Mulyadi,
Sri Wulan Rujiati. 1994. Kodikologi
Melayu di Indonesia. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
http://kodikolog.blogspot.com/
(diakses pada tanggal 2 Maret 2015 pukul 13.45 WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar