Sabtu, 31 Desember 2016

Makalah: Kodikologi

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG
Ilmu filologi berhubungan erat dengan bahasa, sastra, dan budaya. Filologi menelaah bahasa, sastra, dan budaya itu dengan bersumber pada naskah-naskah kuno.
Dalam ilmu filologi, kita akan menemukan sebuah ilmu yang bernama kodikologi. Kodikologi sendiri bukanlah sebuah ilmu yang baru. Jika filologi mengkhususkan pada pemahaman isi teks atau kandungan teks, kodikologi khusus membahas seluk-beluk dan segala aspek sejarah naskah. Dari bahan naskah, tempat penulisan, perkiraan penulis naskah, jenis dan asal kertas, bentuk dan asal cap kertas, jenis tulisan, gambar atau ilustrasi, hiasan atau iluminasi, dan lain-lain. Tugas kodikologi selanjutnya adalah mengetahui sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, meneliti tempat-tempat naskah sebenarnya, menyusun daftar katalog naskah, menyusuri perdagangan naskah, sampai pada penggunaan naskah-naskah itu.
Dewasa ini, banyak di antara kita yang tidak mengetahui bagaimana sejarah naskah-naskah kuno bangsa Indonesia. Padahal, dari naskah-naskah kuno itu dapat diketahui pula perkembangan bahasa, sastra, budaya, moral, dan intelektual suatu bangsa.


1.2. RUMUSAN MASALAH
Adapun yang menjadi permasalahan dari makalah ini yaitu sebagai berikut:
1.      Apa itu ilmu kodikologi?
2.      Apa saja yang dipelajari dalam ilmu kodikologi?
3.      Apa itu kolofon?
4.      Apa itu iluminasi?
5.      Bagaimana seluk beluk dan aspek sejarah naskah?

1.3. TUJUAN DAN MANFAAT
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini yaitu untuk mendeskripsikan seperti apa ilmu kodikologi sesuai dengan pernaskahan.
Sedangkan manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan makalah ini yaitu:
1.      Bagi penulis, makalah ini dapat memberikan pengetahuan tentang kajian ilmu kodikologi dan seluk beluk pernaskahan
2.      Bagi pembaca, makalah ini dapat menambah khasanah pengetahuan tentang kajian ilmu kodikologi dan seluk beluk pernaskahan serta dapat dijadikan sebagai bahan diskusi sekaligus penunjang pada mata kuliah yang bersangkutan.

BAB II
PEMBAHASAN

1.1.KODIKOLOGI
Istilah kodikologi berasal dari kata Latin ‘codex’ (bentuk tunggal; bentuk jamak ‘codies’) yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ‘naskah’–bukan menjadi ‘kodeks’.
Mulyadi (1994:1) mengatakan kata ’caudex’ atau ‘codex’ dalam bahasa Latin menunjukkan hubungan pemanfaatan kayu sebagai alas tulis yang pada dasarnya kata itu berarti ‘teras batang pohon’.
Robson (1978:26) dalam Mulyadi (1994:2) menyebut kodikologi sebagai ‘pelajaran naskah’. Sedangkan Baried menguraikan sebagai berikut: Kodikologi ialah ilmu kodeks. Kodeks adalah bahan tulisan tangan …. Kodikologi mempelajari seluk-beluk semua aspek naskah, antara lain bahan, umur, tempat penulisan, dan perkiraan penulis naskah (1985:55).
Hermans dan Huisman (1979/1980:6) dalam Mulyadi (1994:2) menjelaskan bahwa kodikologi (codicologie) diusulkan oleh seorang ahli bahasa Yunani, Alphonse Dain, dalam kuliah-kuliahnya di Ecole Normale Superieure, Paris, pada bulan Februari 1944. Istilah ini baru terkenal pada tahun 1949, ketika karyanya, Les Manuscrits, diterbitkan untuk pertama kali pada tahun tersebut.
Dain (1975:76) dalam Mulyadi (1994:2) sendiri menjelaskan bahwa kodikologi ialah ilmu mengenai naskah-naskah dan bukan ilmu yang mempelajari apa yang tertulis di dalam naskah. Ditambahkannya pula bahwa walaupun kata ini baru, ilmu kodikologi sendiri bukanlah ilmu yang baru.
Selanjutnya, tugas kodikologi antara lain ialah sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, penelitian mengenai tempat naskah-naskah yang sebenarnya, masalah penyusunan katalog, penyusunan daftar katalog, perdagangan naskah, dan penggunaan naskah-naskah itu (Dain, 1975:77 dalam Mulyadi, 1994:2).
Istilah lain yang dapat dipakai di samping istilah naskah ialah istilah manuskrip (bahasa Inggris manuscript). Kata manuscript diambil dari ungkapan Latin codicesmanu scripti (artinya, buku-buku yang ditulis dengan tangan) (Madan, 1983:1 dalam Mulyadi, 1994:). Kata manu berasal dari manus yang berarti tangan dan scriptusx berasal dari scribere yang berarti menulis (Mamat, 1988:3 dalam Mulyadi, 1994:3).
Dalam bahasa-bahasa lain terdapat kata-kata handschrift (Belanda), handschrifen (Jerman), dan manuscrit (Prancis). Dalam berbagai katalogus, kata manuscript dan manuscrit biasanya disingkat menjadi MS untuk bentuk tunggal dan MSS untuk bentuk jamak, sedangkan handschrift dan handschrifen disingkat menjadi HS dan HSS.
Di dalam kodikologi atau ilmu pernaskahan—juga di dalam ilmu filologi—kita harus membedakan antara kata naskah dan teks. Secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan teks ialah apa yang terdapat di dalam suatu naskah. Dengan perkataan lain, teks merupakan isi naskah atau kandungan naskah, sedangkan naskah adalah wujud fisiknya.
Suatu naskah dapat saja terdiri atas beberapa teks, sebaliknya, suatu teks dapat tertulis di dalam lebih dari satu naskah. Kalau melihat berbagai katalogus, suatu naskah dapat saja terdiri atas satu helai, umpamanya, naskah yang berupa surat.

1.2.KOLOFON
Di dalam suatu naskah tidak selalu terdapat nama penulis, penyalin, atau keterangan-keterangan lain. Jika informasi semacam itu ada, dapat ditemukan pada halaman judul sebelum awal teks atau pada akhir teks. Keterangan lain yang dapat diperoleh terdiri atas tempat penulisan dan tanggal. Kadang terdapat penyebutan nama orang yang meminta penulisan maupun penyalinan naskah tertentu. Ada juga yang mencantumkan nama pemilik naskah. Bagian yang memberi informasi bermacam-macam inilah disebut kolofon (dari bahasa Yunani, kolophon).
Jadi, informasi yang dapat ditemukan dalam kolofon adalah:
1.      Judul Naskah
2.      Nama Penulis/Penyalin Naskah
3.      Tempat dan Tanggal Penulisan Naskah
4.      Nama yang Meminta Penulisan/Penyalinan Naskah
5.      Nama Pemilik Naskah
6.      Harga Sewa
Kolofon dapat ditulis dalam dua tiga kalimat saja, tetapi ada yang berupa syair atau diikuti oleh syair yang kadang-kadang berbait-bait panjangnya. Berikut adalah contoh kolofon yang diambil dari beberapa naskah:
(1)   Tamat Hikayat Indraputra pada Hijrat seribu seratus sepuluh esa pada Sembilan likur hari bulan Rajab pada hari Arbaa dan pada waktu lohor (Mulyadi, 1983: 206 dalam Mulyadi, 1994:74).
Maksudnya adalah, telah tamat Hikayat Indraputra pada tahun 1111 ada tanggal Sembilan belas, bulan Rajab, hari Rabu, pada waktu zuhur.
(2)   Demikianlah adat segala raja-raja Melayu. Tamat kepada dua likur hari bulan Syakban hari Isnin jam pukul sepuluh dan yang punya surat ini tuan Raja Pakur. Sanat 1232 (Sudjiman, 1983: 95 dalam Mulyadi, 1994:74).
Maksudnya adalah, telah tamat adat segala raja-raja Melayu pada tanggal 12, bulan Sya’ban, hari Senin, pukul sepuluh, dan yang mempunyai surat ini Raja Pakur.
(3)   Tamatlah Hikayat Pandawa Jaya daripada karangan orang yang bijaksana itu. Arif segala Tuan-Tuan membaca dia atau mendengar dia. Jikalau kurang Tuan-Tuan tolong buangkan dan jikalau lebih, Tuan-Tuan tambahi karena hamba tiada sempat. Lagi barang siapa Tuan-Tuan hendak menyewa, sewanya sehari setalen dan jikalau Tuan-Tuan hendak meminjam tiga hari tiga malam juga. Adalah seperti kata orang:
Rusa lembu di atas kota,
Diparang oleh Maharaja Rawana,
Jemu tak jemu Tuan membaca,
Segeralah pulangkan pada yang punya.

Jikalau Tuan-Tuan yang sudi meminjam
Jangan sekali suka memendam,
Membaca dia dengan gurindam
Tiga hari tiga malam Tuan pulangkan.

Hai Tuan-Tuan yang membaca,
Barang yang kurang Tuanku tambah,
Barang yang lebih Tuanku ubah,
Supaya yang mendengar suka bertambah.

Jika Tuan-Tuan yang sudi membaca,
Janganlah jemu janganlah peca,
Demikian pula janganlah basa [h],
Kertas dawat janganlah binasa-binasa.

Jika diurut seperti kata,
Tiadalah jadi yang punya melata,
Tuan-Tuan turut seperti kata,
Tiadalah Tuan jadi dinista.
                           
Hamba berperan berperi-peri,
Pada sanak saudara sendiri,
Jikalau dibaca jangan makan sirih,
Karena hikayat ini sukar dicari-cari.
Karena hamba kurang pendapat,
Jikalau salah jangan diumpat,
Jikalau ada huruf yang galat,
Tuan-Tuan tambahi dengan isyarat.

(Naskah MI. 91: 274; lihat juga : Hussai, 1964: 247-248 dalam Mulyadi, 1994:74-75)

1.3.ILUMINASI
Iluminasi adalah istilah khusus dalam ilmu pernaskahan (kodikologi) untuk menyebut gambar dalam naskah. Istilah itu pada awalnya digunakan sehubungan dengan penyepuhan emas pada beberapa halaman naskah untuk memperoleh keindahan. Pada perkembangannya, iluminasi yang semula mengacu pada gambar muka (frontispiece), tidak lagi sekadar hiasan tetapi menjadi meluas maknanya karena juga berkaitan dengan teks (Folsom, 1990: 40 dalam Mulyadi, 1994:72).
Naskah beriluminasi dalam bentuk surat pernah didaftar dalam dua buku, yakni Golden Letters: Writing Traditions of Indonesia; Surat Emas: Budaya Tulis di Indonesia (Gallop & Arps 1991) dan The Legacy of the Malay Letter, Warisan Warkah Melayu (Gallop 1994).
Surat beriluminasi berbahasa Melayu yang termegah adalah surat Sultan Iskandar Muda dari Aceh (1607-1636) kepada Raja James I di Inggris yang ditulis pada tahun 1612. Surat yang panjangnya hamper satu meter itu sangat kaya dengan motif bunga popi (poppy) atau madat (papaver) yang ditaburi emas (Gallop & Arps, 1991:35-50 dalam Mulyadi, 1994:72). Selain surat itu, masih banyak surat beriluminasi yang ditulis oleh para raja di Nusantara kepada para pejabat pemerintah Kolonial atau sebaliknya. Iluminasi pada surat-surat itu umumnya digambar dengan rapi, cantik, dan memukau. Motifnya sangat bervariasi, sebagian besar berbentuk miniatur, seperti kubah, bunga, mahkota, pita, dan bentuk geometrik.

1.1.1.      TIGA GAYA ILUMINASI
a.      Gaya Tebaran
Dalam iluminasi bergaya tebaran, teks atau tulisan menjadi pusat, sedangkan hiasan bertebaran di seluruh muka halaman, termasuk tempat penulisan teks. Dalam struktur hiasan ini ada tiga unsur penting:
a.       Teks
b.      Bingkai pembatas bidang dalam
c.       Hiasan halaman
b.      Gaya Empat Sisi
Gaya ini adalah hiasan pada semua sisi halaman. Hiasan ini sangat bermacam-macam, terutama dilihat hiasan di atas teks. Pada dasarnya struktur iluminasi dalam jenis ini terbagi dalam 8 bagian, yakni:
a.       Bingkai pembatas bidang dalam
b.      Hiasan sisi kanan
c.       Hiasan sisi atas
d.      Hiasan di atas teks
e.       Hiasan sisi kiri
f.       Hiasan sisi bawah
g.      Bingkai pembatas teks
h.      Teks
c.       Gaya Tiga Sisi
Struktur hiasan tiga sisi pada dasarnya sama dengan gaya empat sisi, hanya pada hiasan ini tidak terdapat gambar pada sisi bawah. Hiasan itu terdapat pada:
a.       Bingkai pembatas bidang dalam
b.      Hiasan sisi kanan
c.       Hiasan sisi atas
d.      Hiasan di atas teks
e.       Hiasan sisi kiri
f.       Bingkai pembatas teks
g.      Teks

1.2. ALAS NASKAH
Alas naskah ialah segala sesuatu yang dipakai untuk menulis sehingga terbentuk suatu naskah. Pada masa lampau, tulisan-tulisan diabadikan pada bambu (Cina), daun palma (India dan Asia Tenggara), batu-batu bata yang terbuat dari tanah liat (Mesopotamia), papirus (Mesir), baja, bahan linen, velum, sutera, perkamen, dan kertas.
Naskah-naskah di Indonesia sendiri memakai kertas daluwang, daun lontar, daun nipah, kulit kayu, bambu, dan rotan (Jusuf, 1982/1983: 11 dalam Mulyadi, 1994:44).
Daun lontar sampai sekarang masih dipakai di daerah-daerah Bali dan Lombok. Naskah-naskah dari daun lontar terdapat juga di tanah Kerinci (Voorhoeve, 1970: 380, 390 dalam Mulyadi, 1994:45). 
Naskah-naskah di Batak memanfaatkan kulit kayu sebagai alas naskah. Kulit kayu sebagai alas naskah tidak hanya terdapat di daerah Batak, tetapi juga dipakai untuk naskah-naskah berhuruf rencong, bahkan juga dipakai untuk berkirim surat kepada seorang pejabat Belanda di Singkel (Jones, 1992: 19; Appendix A dalam Mulyadi, 1994:45).
Daluwang adalah kertas yang dibuat dengan kayu sebagai campuran (Soetikna, 1939: 191-194; Noorduyn, 1965: 472-473 dalam Mulyadi, 1994:44). Kertas daluwang dahulu dibuat di pesantren Tegalsari, Ponorogo.
Naskah-naskah Melayu umumnya ditulis di atas kertas yang bermacam-macam ragamnya. Ada yang polos putih (dalam perjalanan waktu menjadi kekuning-kuningan, bahkan ada yang sudah berwarna cokelat muda), biru muda, ada yang bergaris macam-macam (horisontal, horisontal dan vertikal), bahkan ada yang menggunakan kertas bergaris untuk penghitungan uang. Ukurannya pun bermacam-macam; ada yang ukuran octavo (8 ), kuarto (4 ), maupun folio (2 ).
Kertas merupakan ciptaan seorang Cina bernama Tsai Lun, seorang menteri pada zaman pemerintahan Kaisar Wu Di dari Dinasti Han pada tahun 105. Hasil penemuan ini menggantikan sutera sebagai alas tulis (Gaur, 1979: 30 dalam Mulyadi, 1994:59). Selama enam ratus tahun pertama, kertas hanya dikenal di Cina. Cara pembuatannya sangat dirahasiakan dan “industri” kertas dianggap sebagai monopoli pemerintah. Pada tahun 751, Samarkandia yang diperintah seorang gubernur Muslim diserang oleh pasukan Cina. 20.000 tentara Cina tertawan; beberapa di antaranya ahli dalam pembuatan kertas. Entah berdasarkan sukarela, atau paksaan untuk membuka rahasia mereka pengetahuan mengenai pembuatan kertas akhirnya dapat dimanfaatkan di Samarkandia. Selama seratus tahun, kertas Samarkandia menjadi bahan ekspor yang penting sebagai kertas Cina. Berturut-turut pembuatan kertas dikerjakan pula di Timur Tengah; Bagdad, Damsyik, dan Kairo. Dalam abad ke-12, pengetahuan pembuatan kertas sudah menyebar sampai ke Spanyol dan Sisilia. Abad berikutnya, kertas sampai ke India. Sejak Spanyol direbut dari tangan-tangan orang Arab, mutu kertas mulai turun (Gaur, 1979: 33 dalam Mulyadi, 1994:60).
Kertas masuk ke Indonesia pada saat pemerintah Hindia Belanda dan dunia perdagangan mempergunakan kertas dari Belanda untuk keperluan administrasi dan surat menyurat mereka. Impor kertas dari negara-negara lain tidak banyak (Voorn, 1978: 4 dalam Mulyadi, 1994:60). Mengenai impor kertas pada zaman VOC, ada tiga arus kertas ke Indonesia. Arus dari Belanda; dari Inggris, terutama ke Malaysia; dan dari Itali sebelah timur laut yang dahulu termasuk Kerajaan Austria (Jones, 1992: 5 dalam Mulyadi, 1994:61).
1.1. CAP KERTAS
Cap kertas (watermark) ialah semacam “gambar” pada kertas—dapat dilihat dengan nyata, jika dilihat di tempat yang ada sinar matahari atau lampu—yang juga terdapat pada uang kertas dan perangko.
Jika kertas itu dilihat di tempat yang terang akan jelas tampak garis-garis tipis. Kalau dihitung, per sentimeter terdapat 8-12 garis tipis (laid lines). Jika dilihat bahwa garis-garis tipis ini di dalam posisi horisontal, dapat dilihat pula garis-garis yang vertikal yang biasanya berjarak sekitar 2,5 cm. Garis-garis ini disebut garis tebal (chain line).
Menurut Edward Heawood cap kertas yang tertua terdapat pada kertas buatan Italia yang dibuat di Fabriano pada tahun 1282. Tujuan utama untuk mencantumkan cap kertas yang merupakan suatu tanda dagang (trade-mark) ini ialah untuk menunjukkan kualitas, ukuran, atau pembuat kertasnya. Kira-kira pada tahun 1600-1750 muncul pula cap kertas tandingan (countermark), yaitu cap kertas yang menemani cap kertas (Heawood, 1950: 6-12 dalam Mulyadi, 1994:63).
1.2. PENULISAN DAN PENYALINAN NASKAH
Penulis-penulis naskah di Indonesia, baik penulis naskah Melayu maupun penulis naskah dalam berbagai bahasa daerah, sebagian besar tidak mencantumkan namanya. Hanya beberapa nama saja yang dapat diketahui. Biasanya, penulisan nama terdapat pada kolofon, yaitu bagian akhir tulisan yang di luar teks. Di dalam kolofon, di samping nama penulis atau penyalin naskah, dapat pula ditemukan tanggal dan tahun penulisan, tempat penulisan; bahkan, kadang-kadang ada pula permintaan pembaca untuk memperbaiki hasil kerjanya.
Contoh naskah yang terdapat salinannya adalah naskah-naskah Riau. Berikut adalah perbedaan ciri fisik naskah Riau koleksi Yayasan Indra Sakti, Perpustakaan Nasional, dan Perpustakaan Universitas Leiden:
a.       Yayasan Indra Sakti
  • Tulisan umumnya dikatakan kurang rapi.
  • Format naskah sebagian besar berukuran kuarto karena sebagian besar memakai buku bergaris.
  • Kertas yang digunakan ada yang berupa kertas bergaris, ada juga kertas yang tidak memiliki cap kertas.
  • Kebanyakan naskah-naskah Yayasan Indra Sakti berhalaman judul. Meskipun bagian halaman itu hilang, pada halaman berikutnya masih disebut lagi.
  • Dalam beberapa naskah ditemukan daftar isi pada bagian awal.
  • Sebagian besar naskah yayasan itu memiliki kolofon. Bahkan menyebutkan nama kampung tempat menyalin naskah.
  • Iluminasi pada umumnya tidak ditemukan, sedangkan ilustrasi ada.
  • Naskah-naskah Yayasan Indra Sakti pada umumnya tidak teratur dan tidak rapi. Pada umumnya tidak bergaris bingkai, tetapi menggunakan garis panduan.
  • Pada umumnya naskah Yayasan Indra Sakti tidak dijilid atau tidak bersampul.
  • Naskah-naskah Yayasan Indra Sakti pada umumnya terbagi atas beberapa bab dan bab itu ditempatkan secara khusus pada tengah halaman.
  • Rubrikasi dalam naskah-naskah Yayasan Indra Sakti hanya ada pada beberapa naskah.
  • Alat tulis yang dipakai untuk menyalin naskah-naskah ini berupa tinta hitam dan biru, banyak pula yang menggunakan pensil.
b.      Perpustakaan Nasional
  • Umumnya tulisan lebih rapi bila dibandingkan dengan Yayasan Indra Sakti.
  • Format naskah sebagian besar folio, ada juga yang kuarto.
  • Naskah-naskah disalin di atas kertas Eropa.
  • Halaman judul sebagian besar ada pada halaman awal.
  • Daftar isi ditemukan dalam beberapa naskah pada bagian awal.
  • Kolofon sebagian ada yang ditulis di bagian belakang dan ada yang ditulis pada bagian permulaan.
  • Iluminasi dan ilustrasi tidak satu pun yang ada dalam koleksi ini.
  • Naskah-naskah koleksi Perpustakaan Nasional berpias teratur, ada garis panduang, dan berbingkai.
  • Penjilidan diseragamkan dengan karton tebal dengan motif bintik-bintik dengan variasi warna cokelat, krem, dan cokelat tua, serta ungu.
  • Penulisan isi ada yang dibagi dengan pembagian bab atas pasal.
  • Rubrikasi dalam naskah koleksi perpustakaan ada dengan menggunakan tinta merah untuk menandai alinea, nama-nama, dan kata Arab.
  • Alat tulis yang digunakan seragam, yakni tinta hitam, biru, atau merah.
c.       Perpustakaan Universitas Leiden
  • Pada umumnya tulisan rapid an baik.
  • Format naskah sebagian besar folio, ada juga yang kuarto.
  • Naskah-naskah disalin di atas kertas Eropa.
  • Halaman judul sebagian besar ada.
  • Ada beberapa naskah yang menyebutkan daftar isi.
  • Kolofon sebagian ada yang ditulis di bagian belakang dan ada yang ditulis pada bagian permulaan.
  • Iluminasi dan ilustrasi tidak satu pun ditemukan.
  • Naskah koleksi perpustakaan ini sama rapinya dengan koleksi Perpustakaan Nasional.
  • Penjilidan diseragamkan dengan karton tebal dengan motif bintik-bintik dengan variasi warna cokelat, krem, dan cokelat tua, serta ungu.
  • Sebagian besar penulisan dibagi atas bab.
  • Rubrikasi dalam naskah koleksi perpustakaan ada dengan menggunakan tinta merah untuk menandai alinea, nama-nama, dan kata Arab.
  • Alat tulis yang digunakan seragam, yakni tinta hitam, biru, atau merah.
1.3. KEMUSNAHAN DAN PEMUSNAHAN NASKAH
Kemusnahan naskah atau hilangnya naskah dari Indonesia disebabkan oleh hal-hal yang tidak sengaja, sedangkan pemusnahan naskah ialah akibat ulah manusia, baik disengaja maupun yang tidak disengaja.
Kemusnahan naskah di daerah tropis seperti Indonesia disebabkan karena kerusakan alas naskah—seperti kertas, lontar, dan nipah—karena tidak dapat bertahan terhadap iklim. Dapat juga terjadi karena ulah serangga, berupa kutu yang mungkin saja membuat naskah demikian rusaknya, sehingga tidak dapat dipakai lagi karena tidak terbaca isinya.
Rusak atau hancurnya naskah-naskah itu sebagian disebabkan oleh musibah yang menimpa sebagian naskah-naskah itu (terbakar, bencana banjir, hilang, dan dimakan zaman atau dimakan serangga), ada pula akibat kesengajaan untuk dimusnahkan (dibakar, tidak dipelihara, dan lain-lain), dan ada yang karena kelalaian pemiliknya, seperti ditinggalkan mengungsi, terlupakan memeliharanya, dan lain-lain (Ekadjati et al., 1988: 11 dalam Mulyadi, 1994:79).
Pemusnahan yang tidak disengaja contohnya yang telah terjadi di Cirebon. Di Keraton Kasepuhan Cirebon tersimpan naskah sebanyak dua peti yang pada suatu waktu ditempatkan di dalam tanah tanpa diperiksa lagi. Pada saat peti itu dibuka tahun 1980, ternyata naskah-naskahnya telah hancur dimakan ngengat (Ekadjati et al., 1988: 7, 8, 14 dalam Mulyadi, 1994:79). Banjir yang melanda kota Bandung pada bulan Desember 1945 juga menghancurkan naskah milik penduduk. Naskah milik penduduk di Cijenuk, daerah kabupaten Bandung, sebagian terbakar karena rumah-rumah dibakar oleh gerombolan Kartosuwiryo. Bahkan, satu peti naskah yang disembunyikan di dalam tanah oleh penduduk Astanajapura di kabupaten Cirebon agar tidak jatuh ke tangan pemerintah kolonial, ternyata akhirnya hancur (Ekadjati, 1985: 16 dalam Mulyadi, 1994:79).
Pada waktu peperangan gerilya di Aceh abad yang lalu, pemerintah Belanda tahu bahwa ada hasil sastra yang beredar di antara masyarakat, yang menyebabkan mereka tidak patah semangat melawan tentara Belanda yang bersenjatakan meriam dan senapan. Maka, Belanda membakar rumah T. Rali Mahkul Adil, salah seorang menteri Kerajaan Aceh pada tahun 1873, sehingga musnahlah arsip Kerajaan Aceh. Lalu, tempat pengajian agama atau dayah yang memiliki kitab-kitab dan menjadi pusat-pusat kegiatan perlawanan pun dibakar habis oleh Belanda. Arsip Sultan Aceh bersama dokumen-dokumen sejarah yang lain turut dimakan api ketika rumah Panglima Polim di Pemayong dibakar pada waktu agresi Belanda tahun 1873 (Alfian, 1987: 30-31 dalam Mulyadi, 1994:80).
Pada abad ke-17 di Aceh, karya-karya Syamsudin Pasai telah dibakar karena pertentangan pendapat dalam masalah keagamaan dengan Nuruddin ar-Raniri (Iskandar, 1987: 438 dalam Mulyadi, 1994:). Buku-buku yang berisikan ajaran Wujudiah, yaitu ajaran tasawuf Hamzah Fansuri, dibakar di depan masjid Baitul-Rahman, di kota Raja, Aceh, pada waktu pemerintahan Sultan Iskandar Thani (1637-1641) atas nasihat Nuruddin ar-Raniri (Hassan, 1987: 10-11 dalam Mulyadi, 1994:81).
Salah satu episode dalam Babad Kediri mengisahkan bahwa sesudah Majapahit jatuh, Sultan Demak memerintahkan pembakaran semua buku keagamaan dan kesejarahan (Drewes, 1966: 320 dalam Mulyadi, 1994:81).
Tidak jarang juga orang dahulu menyobek sebagian dari naskah yang dianggap keramat untuk campuran obat yang diminumkan kepada si sakit. Pemusnahan naskah dapat juga terjadi karena suasana politik. Perang Kemerdekaan (1945-1949) yang disusul oleh pemberontakan Kartosuwiryo (1951-1962) menimbulkan suasana ketidaktenangan dan menimbulkan anggapan bahwa tulisan-tulisan lama itu berisi bid’ah (Sukanda-Tessier, 1992: 279 dalam Mulyadi, 1994:81).
BAB III
PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
Dari beberapa pembahasan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Kodikologi adalah satu bidang ilmu yang biasanya bekerja sama dengan bidang ilmu filologi. Jika filologi mengkhususkan pada pemahaman isi teks/kandungan teks, kodikologi khusus membahas seluk-beluk dan segala aspek sejarah naskah. Dari bahan naskah, tempat penulisan, perkiraan penulis naskah, jenis dan asal kertas, bentuk dan asal cap kertas, jenis tulisan, gambar/ilustrasi, hiasan/illuminasi, dan lain-lain.
2.      Ragam hias yang terdapat pada sebuah naskah dapat dibedakan menjadi: iluminasi, yakni hiasan bingkai yang biasanya terdapat pada halaman awal dan mungkin juga pada halaman akhir; dan ilustrasi, yaitu hiasan yang mendukung teks.
3.2. SARAN
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat diajukan beberapa saran untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan, sebagai berikut:
1.      Kepada mahasiswa, agar memanfaatkan makalah ini untuk memahami segala sesuatu yang berhubungan dengan topik pembahasan ini yaitu tentang “Kodikologi”.
2.      Kepada para pembaca dan penulis lain, agar lebih banyak lagi mengkaji tentang Kodikologi terutama yang berhubungan dengan usia naskah.

DAFTAR PUSTAKA

Attas, Siti Gomo. 2015. Bahan Ajar Pengantar Teori Filologi, Penerapan dan Aplikasi.                   Jakarta: Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta.
Mu’jizah. 2009. Iluminasi dalam Surat-Surat Melayu Abad ke-18 dan ke-19. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Muj’jizah dan Maria Indra Rukmi. 1998. Penelusuran Penyalinan Naskah-Naskah Riau Abad XIX: Sebuah Kajian Kodikologi. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Mulyadi, Sri Wulan Rujiati. 1994. Kodikologi Melayu di Indonesia. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
http://kodikolog.blogspot.com/ (diakses pada tanggal 2 Maret 2015 pukul 13.45 WIB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar