Sabtu, 31 Desember 2016

Makalah: Kajian Intertekstual pada Novel 'Kei' dan Cerpen 'Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin'

KAJIAN INTERTEKSTUAL PADA NOVEL KEI KARYA ERNI ALADJAI DAN CERPEN SEBAB AKU CINTA SEBAB AKU ANGIN KARYA HELVY TIANA ROSA
Zahra Salsabila
2125140269
2 SI S
Mata Kuliah Estetika


Program Studi Sastra Indonesia
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Jakarta
2016

BAB I
PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG
Sebuah karya sastra tidak lahir dalam situasi kosong kebudayaannya, termasuk dalamnya situasi sastra (Teeuw, 1980 dalam Rachmat; 2007). Karya sastra mempunyai hubungan sejarah antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang kemudian. Hubungan sejarah ini dapat berupa persamaan atau pertentangan. Dengan hal demikian, sebaiknya membicarakan karya sastra itu dalam hubungannya dengan karya sezaman, sebelum, atau sesudahnya.

Pengarang dari berbagai generasi silih berganti memasukkan unsur budaya dan kesenian daerah sebagai bahan pengembaraan imajinasi pengarang. Akibatnya saat ini unsur kedaerahan yang berupa cerita daerah, kesenian daerah, dan budaya suatu daerah banyak ditemukan dalam karya-karya fiksi Indonesia pada setiap generasi pengarang dan periode karya sastra. Unsur kedaerahan tersebut dapat berupa legenda, mitos, dan kesenian daerah.

Keanekaragaman kebudayaan daerah Indonesia menjadi sumber yang sangat kaya dalam rangka penelitian antar teks karya sastra Indonesia modern. Hubungan antar teks merupakan usaha menemukan makna yang dilakukan di luar karya individual tidak terbatas ruang dan waktu, karena teks berkomunikasi melalui teks. Teks yang dianggap sebagai subjek teks itu sendiri bukan pengarang secara faktual. Oleh karena itu, intertekstualitas pada dasarnya adalah intersubjektivitas (Ratna, 2004:176). Hubungan antarteks dapat terjadi pada genre sastra yang sejenis maupun berbeda, misalnya cerpen dipengaruhi oleh novel, novel dipengaruhi oleh cerpen, naskah drama dipengaruhi novel, novel dipengaruhi komik, dan masih banyak lagi.

Menurut Wiyatmi (2007: 53) kemunculan sejumlah transformasi karya sastra Indonesia modern menunjukkan tanggapan pembaca terhadap sastra tradisional yang dianggap dominan, adiluhung atau luhur, dan menunjukkan adanya kecenderungan yang berkaitan dengan fenomena budaya modern yang ditandai oleh munculnya berbagai bentuk budaya yang menghadirkan kembali sekaligus mengkritik berbagai bentuk budaya tradisional. Pengangkatan kembali unsur budaya daerah ke dalam bentuk yang berbeda oleh para pengarang menunjukkan aktivitas pengarang dalam menanggapi dan mengapresiasi berbagai macam bentuk budaya klasik tradisional ke dalam bentuk karya yang baru. Akan tetapi, meskipun para pengarang mengambil sumber yang sama berupa budaya daerah, kesenian daerah, cerita daerah, dan lain sebagainya, tetapi kemunculannya sebagai karya transformasi tersebut akan terlihat berbeda-beda.

Berdasarkan uraian di atas untuk memperoleh latar penciptaan karya sastra dan mengetahui hubungan intertekstualitas (persamaan dan perbedaan) antara karya sebelum dan sesudahnya tentu harus diperlukan metode perbandingan yangdapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode perbandingan tersebut yaitudengan cara membandingkan unsur-unsur atau struktur karya sastra secaramenyeluruh yang terdapat di dalam novel Kei karya Erni Aladjai dan cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin karya Helvy Tiana Rosa. Sebagaimanadiungkapkan Riffaterre yang menyatakan bahwa intertekstualitas memerlukansuatu metode perbandingan dengan membandingkan unsur-unsur karya sastrayang dapat mewakili hakikat cerita secara menyeluruh pada teks-teks sastra yangditeliti. Adapun teknik membandingkannya adalah dengan cara menjajarkanunsur-unsur struktur secara menyeluruh dalam karya sastra yang akan dibandingkan (Sangidu, 2004: 26).

Penelitian ini menggunakan teori resepsi-intertekstual dengan tujuan untuk mengetahui hubungan intertekstual novel Kei karya Erni Aladjai dengan cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin karya Helvy Tiana Rosa.

B.   RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian dapat ditulis sebagai berikut:
1.)    Apa persamaan dan perbedaan unsur intrinsik dalam novel Kei karya Erni Aladjai dengan cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin karya Helvy Tiana Rosa?
2.)    Apa persamaan dan perbedaan nilai-nilai budaya dalam novel Kei karya Erni Aladjai dengan cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin karya Helvy Tiana Rosa?
3.)    Bagaimana hubungan intertekstual antara hipogram dan teks transformasinya?

C.   TUJUAN
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.)    Menjelaskan persamaan dan perbedaan unsur intrinsik dalam novel Kei karya Erni Aladjai dengan cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin karya Helvy Tiana Rosa.
2.)    Menjelaskan persamaan dan perbedaan nilai-nilai budaya dalam novel Kei karya Erni Aladjai dengan cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin karya Helvy Tiana Rosa.
3.)    Menjelaskan hubungan intertekstual antara hipogram dan teks transformasinya.

BAB II
KAJIAN TEORI

A.   STRUKTURAL
Sebuah karya sastra, fiksi atau puisi, menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagaiunsur (pembangun)-nya. Di satu pihak, struktur karya sastra dapatdiartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan danbagian yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah (Abramsdalam Nurgiyantoro, 2007: 36).

Pendekatan strukturalisme dinamakan juga pendekatan objektif, yaitu pendekatan dalam penelitian sastra yang memusatkan perhatiannyapada otonomi sastra sebagai karya fiksi. Artinya, menyerahkanpemberian makna karya sastra tersebut terhadap eksistensi karya sastraitu sendiri tanpa mengaitkan unsur yang ada di luar signifikasinya(Jabrohim, 2003: 62).

Strukturalisme berpandangan bahwa untuk menanggapi karya sastra secara objektif haruslah berdasarkan teks karya sastra itu sendiri.Pengkajian terhadapnya hendaknya diarahkan pada bagian-bagian karyasastra dalam menyangga keseluruhan, dan sebaliknya bahwakeseluruhan itu sendiri terdiri dari bagian-bagian. Strukturalismememasukkan gejala kegiatan atau hasil kehidupan (termasuk sastra) kedalam suatu kemasyarakatan, atau “sistem makna” yang terdiri daristruktur yang mandiri dan tertentu dalam antar hubungan (Jabrohim,2003: 66-67).

Pendekatan struktural merupakan pendekatan intrinsik, yaitu membicarakan cipta sastra itu dari dalam karya sastra sebagai karyayang otonom terlepas dari latar belakang sosial, sejarah, biografipengarang, dan lain-lain yang ada di luar karya sastra (Satoto, 1992: 53).

Hal tersebut selaras dengan Pradopo (2003: 6) yang mengatakan bahwa satu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktural adalahadanya anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastramerupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai satu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang salingberjalinan.

Semi (1993: 35) menyatakan bahwa unsur-unsur pembangun fiksi adalah tokoh, tema, alur, latar atau landas tumpu, gaya penceritaan, danpusat pengisahan. Jadi, unsur-unsur pembangun fiksi tidak dapatdipisah-pisahkan karena merupakan satu keterjalinan yang utuh.

Teeuw (dalam Pradopo, 2003: 57) menyatakan bahwa bagaimanapun juga analisisstuktural merupakan tugas prioritas bagi peneliti sastra sebelummelangkah pada hal-hal yang lain. Analisis struktural diterapkan untukmengetahui unsur-unsur intrinsik yang membangun karya sastra. Hasilanalisis struktural memudahkan peneliti untuk melangkah pada analisis intertekstual.

Dalam menganalisis secara stuktural, penelitian ini hanya membatasi pada tema, tokoh, latar, dan alur yang ada pada novel Kei karya Erni Aladjai dan cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin karya Helvy Tiana Rosa.

B.   INTERTEKSTUAL
Pendekatan intertekstual pertama diilhami oleh gagasan pemikiran Mikhail
Bakhtin. Mikhail Bakhtin adalah seorang filsuf Rusia yang mempunyai minat besar pada sastra. Menurut Bakhtin, pendekatan intertekstual menekankanpengertian bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan sisipan ataucangkokan pada kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi,acuan atau kutipan (Noor 2007:4-5). Selanjutnya, pendekatan intertekstualtersebut diperkenalkan atau dikembangkan oleh Julia Kristeva (1980:66), istilahintertekstual pada umumnya dipahami sebagai hubungan suatu teks dengan tekslain.

Menurut Kristeva, tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan, tiapteks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain. Kristevaberpendapat bahwa setiap teks terjalin dari kutipan, peresapan, dan transformasiteks-teks lain.

Sewaktu pengarang menulis, pengarang akan mengambil komponen-komponen teks lain sebagai bahan dasar untuk menciptakan karyanya. Semua itudisusun, diberi warna dengan penyesuaian dan ditambah agar menjadi karya yangutuh. Agar lebih menegaskan pendapat itu Kristeva mengajukan dua alasan,pertama pengarang adalah seorang pembaca teks sebelum menulis teks.Proses penulisan karya oleh seorang pengarang tidak bisa dihindarkan dariberbagai jenis rujukan, kutipan, dan pengaruh. Kedua, sebuah teks tersedia hanyamelalui proses pembacaan. Kemungkinan adanya penerimaan atau penentanganterletak pada pengarang melalui proses pembacaan (Worton, 1990:1).

Menurut Kristeva (via Napiah, 1994:xv) interteks mempunyai prinsip dan kaidah tersendiri dalam penelitian karya sastra antara lain: (1) interteks melihathakikat sebuah teks yang di dalamnya terdapat banyak teks, (2) interteksmenganalisis sebuah karya berdasarkan aspek yang membina karya tersebut, yaituunsur seperti tema, plot, watak, dan bahasa serta unsur-unsur di luar unsur strukturseperti sejarah, budaya, agama dan lain sebagainya yang menjadi bagian darikomposisi teks, (3) intertekstual mengkaji keseimbangan antara aspek dalamandan aspek luaran dengan melihat fungsi dan tujuan kehadiran teks-teks tersebut,(4) teori interteks juga menyebut bahwa sebuah teks itu tercipta berdasarkankarya-karya yang lain. Kajian tidak hanya tertumpu pada teks yang dibaca, tetapidengan meneliti teks-teks lainnya untuk melihat aspek-aspek yang meresap kedalam teks yang ditulis, dibaca atau dikaji, (5) yang dipentingkan dalam interteksadalah menghargai pengambilan, kehadiran, dan masuknya unsur-unsur lain kedalam sebuah karya.

Berdasarkan prinsip dan kaidah intertekstual yang dikemukakan Kristeva (via Napiah, 1994:xv-xvi) terdapat beberapa rumusan antara lain: (1) pendekataninterteks ternyata mempunyai kaidah atau metodologi tersendiri. Kaidah itumencoba meneliti bahwa sastra merupakan suatu proses pengolahan, pembinaan,dan pencemaran dua aspek, yaitu aspek dalam dan aspek luar, yang salingmembantu untuk membentuk sebuah karya, (2) intertekstualitas juga melihatadanya berbagai bentuk hadirnya sebuah teks yang menjadi dasar motif danaspirasi pengarang. Pengambilan atau pengguna teks luaran menunjukkankesediaan pengarang untuk memperkukuh karyanya atau merupakan penolakanterhadap ide, makna, dan unsur lain yang bertentangan dengan paham atauaspirasi pengarang, (3) proses intertekstualitas tidak dapat dipisahkan dari hasrat,aspirasi, dan ideologi pengarang. Oleh karena itu, penelitian terhadap sebuah teksakan mencerminkan sikap dan aspirasi pengarang itu sendiri. Dalam konsepintertekstual, teks yang menjadi dasar penciptaan teks yang ditulis kemudian dipandang sebagai bentuk hipogram (Riffatere 1978:23).

Karya yang tercipta berdasarkan hipogram itu dapat disebut sebagai karya transformasi karena sudah diubah dari bentuk semula. Pengubahan tersebut

berupa unsur-unsur yang diserap sebuah teks dari teks hipogram yang mungkin berupa kata, sintagma, model bentuk, gagasan, atau berbagai unsur-unsur intrinsik yang lain, bahkan dapat pula berupa sifat kontraksinya. Dengan demikian makaakan menghasilkan sebuah karya yang baru sehingga hipogramnya mungkin tidakdikenali lagi bahkan dilupakan (Riffatere, 1978:165). Hal tersebut memungkinkanlahirnya dua buah karya yang mempunyai unsur-unsur struktur sama, tetapi carapenyajian dan judulnya berbeda, demikian pula sebaliknya (Culler 1977:241).

Menurut Kristeva setiap teks termasuk teks sastra merupakan mozaik kutipan-kutipan dan merupakan tanggapan atau penyerapan (transformasi) teks-teks lain.Oleh karena itu, suatu teks baru bermakna penuh dalam hubungannya denganteks-teks lain (Teeuw 1983:65).

Makna karya sastra dapat diperoleh dengan cara tidak melepaskannya dari prinsip kesejarahan karena karya sastra akan memberikan makna penuh apabiladihubungkan dengan karya lain yang menimbulkan pertentangan. Keberadaansebuah karya selalu berdasar pada sebuah karya sastra lain, baik karya itu salingbertentangan atau sejalan. Lebih lanjut Teuuw (via Pradopo, 2009:112)menyatakan bahwa sebuah karya sastra akan mendapatkan makna secaramendalam apabila dihubungkan dengan karya yang melatarinya.

Makna sebuah karya sepenuhnya akan didapat dengan cara memperhatikan ciri khasnya sebagai tanda, tidak boleh pula dilepaskan hubungan sejarahnya, baik karya oleh satu pengarang saja, karya satu zaman, maupun karya setelah dansebelumnya. Karya biasanya memiliki kecenderungan meneruskan maupunmenentang ciri konsep karya-karya sebelumnya. Kaitanya dengan konteks sejarah,perlu diperhatikan prinsip-prinsip intertekstualitas, bahwa karya akan menjadibermakna apabila dihubungkan dengan karya lain. Kristeva (via Sayuti, 2007)menyatakan bahwa teks-teks terdahulu berfungsi bagi para pembacanya sebagaiintertekstual. Artinya, pembaca telah berupaya untuk menciptakan sebuah karyasastra dengan cara menjalin kutipan-kutipan ke dalam sebuah bentuk tekstualitasyang utuh menyatu dan mengukuhkanya sebagai karya sastra yang baru terlahir akibat peristiwa transformasi.

C.   NILAI BUDAYA
Dalam kenyataan bahwa manusia tidak hidup di dalam alam hampa. Manusia hidup sebagai manusia yang bermasyarakat, tidakmungkin tanpa kerjasama dengan orang lain. Secara lahiriah danbatiniah maka manusia merupakan makhluk Tuhan yang tersempurnadibanding dengan makhluk lain, karena pada manusia selain kehidupania juga mempunyai kemampuanuntuk berfikir dan berkarya.

Masyarakat adalah suatu kelompok manusia, yang di antara para anggotanya terjadi komunikasi, pertalian dan akhirnya salingmempengaruhi antara satu dengan yang lain. Hal itu dilakukan oleh paraanggota masyarakat dalam suatu golongan karena manusia tidak dapathidup sendiri.

Dalam masyarakat lama, terjadi segolongan masyarakat adalah dengan cara mengikat atau integratif. Dalam masyarakat seperti inimanusia tunduk kepada aturan-aturan dan adat kebiasaan golongan,tempat mereka hidup. Hal ini dilakukan karena mereka menginginkankehidupan yang stabil, kokoh, dan harmonis. Jika hal itu tercapai,manusia dalam masyarakat itu tidak terlihat peranannya, yang lebih jelastampak ke luar justru kebersamaannya. Segala macam masalah menjadimasalah bersama dan harus diselesaikan bersama.

Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan kepentingan para anggotamasyarakat, bukan nilai yang dianggap penting dalam satu anggotamasyarakat sebagai individu, sebagai pribadi. Individu atauperseorangan berusaha mematuhi nilai-nilai yang ada dalam masyarakatkarena dia berusaha untuk mengelompokkan diri dengan anggotamasyarakat yang ada, yang sangat mementingkan kepentingan bersamabukan kepentingan diri sendiri.

Nilai budaya merupakan nilai yang ada dan berkembang di dalam masyarakat. Koentjaraningrat (1984: 8-25) mengemukakan bahwa nilaibudaya itu adalah tingkat pertama kebudayaan ideal atau adat. Nilaibudaya adalah lapisan paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Jadi, nilai budaya adalah suatu yang dianggap sangat berpengaruh dandijadikan pegangan bagi suatu masyarakat.

Selanjutnya Koentjaraningrat (dalam Djamaris, 1996: 3) mengemukakan suatu sistem nilai-nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsiyang hidup dalam alam pikiran sebagian besar wargamasyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilaidalam hidup. Oleh karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanyaberfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem tatakelakuan manusia yang tingkatnya lebih konkrit, seperti aturan-aturankhusus, hukum, dan nilai budaya itu.

Djamaris (1996: 3) mengungkapkan bahwa nilai budaya dikelompokkan ke dalam lima pola hubungan, yaitu; (1) nilai budayadalam hubungan manusia dengan Tuhan, (2) nilai budaya dalamhubungan manusia dengan alam, (3) nilai budaya dalam hubunganmanusia dengan masyarakat, (4) nilai budaya dalam hubungan manusiadengan orang lain atau sesamanya, (5) nilai budaya dalam hubunganmanusia dengan dirinya sendiri.

BAB III
METODE PENELITIAN

A.   PENELITIAN KUALITATIF
Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Moelong (2002: 6) mengemukakan bahwa metode penelitian kualitatifmerupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupakata-katatertulis atau lisan tentang sifat suatu individu, keadaan, atau gejaladari kelompok tertentu yang diamati.
Dalam mengkaji novel Kei dan cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin digunakan metode penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif, yaitu yang dianalisis dan hasilanalisisnya berbentuk deskripsi, tidak berupa angka-angka atau koefisiantentang hubungan variabel (Aminuddin, 1990: 16).

B.   DATA
Data pada dasarnya merupakan bahan mentah yang dikumpulkan oleh peneliti dari dunia yang dipelajarinya (Sutopo, 2002: 73). Adapundata dalam penelitian ini berwujud kata, ungkapan, kalimat yang terdapat dalam novel Kei karya Erni Aladjai yang diterbitkan oleh Gagas Media pada tahun 2013 setebal 254 halaman dan cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin karya Helvy Tiana Rosa yang ditulis pada tahun 2001 yang terdapat dalam buku kumpulan cerpen Bukavu dan Juragan Haji.

BAB IV
TEMUAN DAN PEMBAHASAN

A.   ANALISIS STRUKTURAL NOVEL KEI DAN CERPEN SEBAB AKU CINTA SEBAB AKU ANGIN

1.)    Tema
Novel Kei
Cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin
Percintaan yang dilatarbelakangi oleh peperangan di Kei, Ambon.
Keberanian seorang gadis melawan peperangan di Batu Merah, Ambon.

2.)    Tokoh
Novel Kei
Cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin
1.      Namira
2.      Sala
3.      Merry
4.      Ibu
5.      Ayah
6.      Pieter
7.      Emiliana
8.      Max
9.      Esme
10.  Bos Yo
11.  Edo
1.      Aku/Angin
2.      Nona/Cinta
3.      Ibu
4.      Bapak
5.      Ali
6.      Abid
7.      Perawat

3.)    Latar
Novel Kei
Cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin
Tempat
Waktu
Suasana
Tempat
Waktu
Suasana
Makassar
Elaar
Watran
Hutan Ohoitel
Langgur
Evu
Laut Banda
Jakarta
Balikpapan
Maret 1999-November 2001
Mencekam akibat peperangan
Batu Merah
Januari-Maret 1999
Mencekam akibat peperangan
Dalam novel Kei, latar tempat dan waktu dijelaskan secara eksplisit di setiap awal bab. Sedangkan dalam cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin, latar tempat dan waktu diselipkan dalam isi cerita.
Latar suasana novel Kei maupun cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin sama-sama menunjukkan suasana mencekam akibat peperangan yang sedang terjadi di latar tempat kedua cerita tersebut. Latar tempat kedua cerita tersebut sama-sama di Ambon, namun daerah yang berbeda.

4.)    Alur
Novel Kei
Cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin
Maju Mundur
Maju Mundur

B.   ANALISIS NILAI BUDAYA NOVEL KEI DAN CERPEN SEBAB AKU CINTA SEBAB AKU ANGIN

1.)    Agama/Religi
Novel Kei
Cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin
Islam
Kristen
Protestan
Mayoritas Islam
Dalam novel Kei, agama para tokoh diceritakan sangat beragam dan merata karena pulau Kei terkenal dengan rasa tenggang rasa dan saling menghormati antar agama yang tinggi.
“Tak ada Islam, tak ada Kristen, Ra. Kita semua bersaudara, kita makan sepiring, tidur bersama tapi kerusuhan membuat kita terpisah.” (Novel Kei, halaman 4)
Dalam cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin, agama yang diceritakan mayoritas Islam karena latar waktunya adalah saat sedang sholat idul fitri.
Keesokan harinya, 19 Januari 1999. Pagi-pagi sekali, kulihat Nona dan keluarganya, juga kaum muslimin yang lain berduyun duyun ke tanah lapang. Gema takbir terdengar di mana-mana. Dengan khusyu mereka melakukan salat Ied.(Kutipan cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin)

2.)    Bahasa
Novel Kei
Cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin
Bahasa Ambon
Bahasa Ambon
Dalam novel Kei, banyak diselipkan bahasa Ambon. Contohnya seperti kutipan di bawah ini:
“Beta sayang ale.” yang artinya“saya menyayangimu.” (Novel Kei, halaman 127).
Hal yang sama juga dapat ditemukan dalam cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin.
."Beta seng bisa manangis,"yang artinya “saya tidak bisa menangis,” (Kutipan cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin).

3.)    Kebudayaan Tradisional
Novel Kei
Cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin
Enbal (makanan, hal. 3)
Sosoy Swar Man-Vuun (tarian, hal. 11)
Tutup Sasi Laut (upacara, hal. 13)
Sife Siflyoi (permainan, hal. 141)
Nevnev (pelanggaran pidana, hal. 174)
Vehe Belan (ritual adat, hal. 193)
Bagia (makanan)
Kalewang (senjata)
Pisang Meja (makanan)
Arumbai, Kole-Kole (kendaraan perahu)
Salawaku (senjata)

Baik novel Kei maupun cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin banyak menyisipkan kebudayaan tradisional Ambon seperti makanan, senjata, tarian, dan lain sebagainya seperti yang sudah dicantumkan di tabel yang ada di atas.

C.   HUBUNGAN INTERTEKSTUAL ANTARA HIPOGRAM DAN TEKS TRANSFORMASI

Setelah menelisik kedua cerita dalam bentuk berbeda ini—novel dan cerpen—maka dapat disimpulkan bahwa hipogram di antara keduanya yaitu cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin karyaHelvy Tiana Rosa yang ditulis pada 6 Februari 2001. Sedangkan novel Kei karya Erni Aladjai yang merupakan Pemenang Unggulan Dewan Kesenian Jakarta 2012 adalah teks tranformasinya karena baru muncul kemudian, yaitu diterbitkan pada tahun 2013 oleh Gagas Media.

Kedua cerita ini memiliki tema yang jauh berbeda namun mengambil latar yang sama yaitu peperangan di Ambon sekitar tahun 1999. Selain itu, nama-nama tokoh dan sifatnya juga jauh berbeda, namun alur dalam kedua cerita ini sama yaitu memakai alur maju mundur.

Kebudayaan tradisional yang diangkat dalam kedua cerita ini tentu saja tidak jauh berbeda karena kedua cerita ini mengangkat latar yang sama. Namun, teks transformasinya yang tak lain adalah novel Kei, tentu lebih luas dalam hal menggali latar dan kebudayaan tradisional Ambon karena berbentuk novel. Sedangkan cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin lebih terbatas dalam membahas kebudayaan tradisionalnya karena sebuah cerpen harus lugas dan langsung pada intinya.

BAB V
KESIMPULAN

Menurut Kristeva (via Napiah, 1994: xv) interteks mempunyai prinsip dan kaidah tersendiri dalam penelitian karya sastra antara lain: (1) interteks melihat hakikat sebuah teks yang di dalamnya terdapat banyak teks, (2) interteks menganalisis sebuah karya berdasarkan aspek yang membina karya tersebut, yaitu unsur seperti tema, plot, watak, dan bahasa serta unsur-unsur di luar unsur struktur seperti sejarah, budaya, agama dan lain sebagainya yang menjadi bagian dari komposisi teks, (3) intertekstual mengkaji keseimbangan antara aspek dalaman dan aspek luaran dengan melihat fungsi dan tujuan kehadiran teks-teks tersebut, (4) teori interteks juga menyebut bahwa sebuah teks itu tercipta berdasarkan karya-karya yang lain. Kajian tidak hanya tertumpu pada teks yang dibaca, tetapi dengan meneliti teks-teks lainnya untuk melihat aspek-aspek yang meresap ke dalam teks yang ditulis, dibaca atau dikaji, (5) yang dipentingkan dalam interteks adalah menghargai pengambilan, kehadiran, dan masuknya unsur-unsur lain ke dalam sebuah karya.

Setelah mengkaji novel Kei dan cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin menggunakan pendekatan struktural dan intertekstual, maka dapat disimpulkan bahwa hipogram di antara keduanya yaitu cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin karya Helvy Tiana Rosa yang ditulis pada 6 Februari 2001. 

Sedangkan novel Kei karya Erni Aladjai yang merupakan Pemenang Unggulan Dewan Kesenian Jakarta 2012 adalah teks tranformasinya karena baru muncul kemudian, yaitu diterbitkan pada tahun 2013 oleh Gagas Media.

DAFTAR PUSTAKA

Aladjai, Erni. 2013. Kei. Jakarta: Gagas Media.
Jabrohim. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Jakarta: Hanindita Graha Widya.
Moeloeng, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: RosdaKarya.
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi.Yogyakarta: Gadjah Mada University.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra: Teori dan Penerapannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rosa, Helvy Tiana. 2014. Juragan Haji. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sangidu. 2004. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik, dan Kiat.Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.
Satoto, Soediro. 1992. Metodologi Penelitian Sastra Bagian I. Surakarta: UNS Press.
Sayuti, Suminto A. 2007. Intertekstualitas: Beberapa Catatan PengantarBagi Pengkaji Sastra. Diktat FBS UNY.
Semi, M. Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar