KAJIAN
INTERTEKSTUAL PADA NOVEL KEI KARYA
ERNI ALADJAI DAN CERPEN SEBAB AKU CINTA
SEBAB AKU ANGIN KARYA HELVY TIANA ROSA
Zahra
Salsabila
2125140269
2
SI S
Mata
Kuliah Estetika
Program
Studi Sastra Indonesia
Fakultas
Bahasa dan Seni
Universitas
Negeri Jakarta
2016
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Sebuah
karya sastra tidak lahir dalam situasi kosong kebudayaannya, termasuk dalamnya
situasi sastra (Teeuw, 1980 dalam Rachmat; 2007). Karya sastra mempunyai
hubungan sejarah antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang kemudian.
Hubungan sejarah ini dapat berupa persamaan atau pertentangan. Dengan hal demikian,
sebaiknya membicarakan karya sastra itu dalam hubungannya dengan karya sezaman,
sebelum, atau sesudahnya.
Pengarang
dari berbagai generasi silih berganti memasukkan unsur budaya dan kesenian
daerah sebagai bahan pengembaraan imajinasi pengarang. Akibatnya saat ini unsur
kedaerahan yang berupa cerita daerah, kesenian daerah, dan budaya suatu daerah
banyak ditemukan dalam karya-karya fiksi Indonesia pada setiap generasi
pengarang dan periode karya sastra. Unsur kedaerahan tersebut dapat berupa
legenda, mitos, dan kesenian daerah.
Keanekaragaman
kebudayaan daerah Indonesia menjadi sumber yang sangat kaya dalam rangka
penelitian antar teks karya sastra Indonesia modern. Hubungan antar teks
merupakan usaha menemukan makna yang dilakukan di luar karya individual tidak
terbatas ruang dan waktu, karena teks berkomunikasi melalui teks. Teks yang
dianggap sebagai subjek teks itu sendiri bukan pengarang secara faktual. Oleh
karena itu, intertekstualitas pada dasarnya adalah intersubjektivitas (Ratna,
2004:176). Hubungan antarteks dapat terjadi pada genre sastra yang sejenis
maupun berbeda, misalnya cerpen dipengaruhi oleh novel, novel dipengaruhi oleh
cerpen, naskah drama dipengaruhi novel, novel dipengaruhi komik, dan masih
banyak lagi.
Menurut
Wiyatmi (2007: 53) kemunculan sejumlah transformasi karya sastra Indonesia
modern menunjukkan tanggapan pembaca terhadap sastra tradisional yang dianggap
dominan, adiluhung atau luhur, dan menunjukkan adanya kecenderungan yang
berkaitan dengan fenomena budaya modern yang ditandai oleh munculnya berbagai
bentuk budaya yang menghadirkan kembali sekaligus mengkritik berbagai bentuk
budaya tradisional. Pengangkatan kembali unsur budaya daerah ke dalam bentuk
yang berbeda oleh para pengarang menunjukkan aktivitas pengarang dalam
menanggapi dan mengapresiasi berbagai macam bentuk budaya klasik tradisional ke
dalam bentuk karya yang baru. Akan tetapi, meskipun para pengarang mengambil
sumber yang sama berupa budaya daerah, kesenian daerah, cerita daerah, dan lain
sebagainya, tetapi kemunculannya sebagai karya transformasi tersebut akan
terlihat berbeda-beda.
Berdasarkan
uraian di atas untuk memperoleh latar penciptaan karya sastra dan
mengetahui hubungan intertekstualitas (persamaan dan perbedaan) antara karya
sebelum dan sesudahnya tentu harus diperlukan metode perbandingan yangdapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode perbandingan tersebut yaitudengan
cara membandingkan unsur-unsur atau struktur karya sastra secaramenyeluruh yang
terdapat di dalam novel Kei karya
Erni Aladjai dan cerpen Sebab Aku Cinta
Sebab Aku Angin karya Helvy Tiana Rosa. Sebagaimanadiungkapkan Riffaterre
yang menyatakan bahwa intertekstualitas memerlukansuatu metode perbandingan
dengan membandingkan unsur-unsur karya sastrayang dapat mewakili hakikat cerita
secara menyeluruh pada teks-teks sastra yangditeliti. Adapun teknik
membandingkannya adalah dengan cara menjajarkanunsur-unsur struktur secara
menyeluruh dalam karya sastra yang akan dibandingkan (Sangidu, 2004: 26).
Penelitian
ini menggunakan teori resepsi-intertekstual dengan tujuan untuk mengetahui
hubungan intertekstual novel Kei
karya Erni Aladjai dengan cerpen Sebab
Aku Cinta Sebab Aku Angin karya Helvy Tiana Rosa.
B. RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian dapat ditulis sebagai
berikut:
1.) Apa
persamaan dan perbedaan unsur intrinsik dalam novel Kei karya Erni Aladjai dengan cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin karya Helvy Tiana Rosa?
2.) Apa
persamaan dan perbedaan nilai-nilai budaya dalam novel Kei karya Erni Aladjai dengan cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin karya Helvy Tiana Rosa?
3.) Bagaimana
hubungan intertekstual antara hipogram dan teks transformasinya?
C. TUJUAN
Adapun
tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.) Menjelaskan
persamaan dan perbedaan unsur intrinsik dalam novel Kei karya Erni Aladjai dengan cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin karya Helvy Tiana Rosa.
2.) Menjelaskan
persamaan dan perbedaan nilai-nilai budaya dalam novel Kei karya Erni Aladjai dengan cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin karya Helvy Tiana Rosa.
3.) Menjelaskan
hubungan intertekstual antara hipogram dan teks transformasinya.
BAB
II
KAJIAN
TEORI
A. STRUKTURAL
Sebuah
karya sastra, fiksi atau puisi, menurut kaum strukturalisme adalah sebuah
totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagaiunsur (pembangun)-nya.
Di satu pihak, struktur karya sastra dapatdiartikan sebagai susunan, penegasan,
dan gambaran semua bahan danbagian yang secara bersama membentuk kebulatan yang
indah (Abramsdalam Nurgiyantoro, 2007: 36).
Pendekatan
strukturalisme dinamakan juga pendekatan objektif, yaitu pendekatan dalam
penelitian sastra yang memusatkan perhatiannyapada otonomi sastra sebagai karya
fiksi. Artinya, menyerahkanpemberian makna karya sastra tersebut terhadap
eksistensi karya sastraitu sendiri tanpa mengaitkan unsur yang ada di luar
signifikasinya(Jabrohim, 2003: 62).
Strukturalisme
berpandangan bahwa untuk menanggapi karya sastra secara objektif haruslah berdasarkan
teks karya sastra itu sendiri.Pengkajian terhadapnya hendaknya diarahkan pada
bagian-bagian karyasastra dalam menyangga keseluruhan, dan sebaliknya
bahwakeseluruhan itu sendiri terdiri dari bagian-bagian.
Strukturalismememasukkan gejala kegiatan atau hasil kehidupan (termasuk sastra)
kedalam suatu kemasyarakatan, atau “sistem makna” yang terdiri daristruktur
yang mandiri dan tertentu dalam antar hubungan (Jabrohim,2003: 66-67).
Pendekatan
struktural merupakan pendekatan intrinsik, yaitu membicarakan cipta sastra itu
dari dalam karya sastra sebagai karyayang otonom terlepas dari latar belakang
sosial, sejarah, biografipengarang, dan lain-lain yang ada di luar karya sastra
(Satoto, 1992: 53).
Hal
tersebut selaras dengan Pradopo (2003: 6) yang mengatakan bahwa satu konsep
dasar yang menjadi ciri khas teori struktural adalahadanya anggapan bahwa di
dalam dirinya sendiri karya sastramerupakan suatu struktur yang otonom yang
dapat dipahami sebagai satu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya
yang salingberjalinan.
Semi
(1993: 35) menyatakan bahwa unsur-unsur pembangun fiksi adalah tokoh, tema,
alur, latar atau landas tumpu, gaya penceritaan, danpusat pengisahan. Jadi,
unsur-unsur pembangun fiksi tidak dapatdipisah-pisahkan karena merupakan satu
keterjalinan yang utuh.
Teeuw
(dalam Pradopo, 2003: 57) menyatakan bahwa bagaimanapun juga analisisstuktural
merupakan tugas prioritas bagi peneliti sastra sebelummelangkah pada hal-hal
yang lain. Analisis struktural diterapkan untukmengetahui unsur-unsur intrinsik
yang membangun karya sastra. Hasilanalisis struktural memudahkan peneliti untuk
melangkah pada analisis intertekstual.
Dalam
menganalisis secara stuktural, penelitian ini hanya membatasi pada tema, tokoh,
latar, dan alur yang ada pada novel Kei
karya Erni Aladjai dan cerpen Sebab Aku
Cinta Sebab Aku Angin karya Helvy Tiana Rosa.
B. INTERTEKSTUAL
Pendekatan
intertekstual pertama diilhami oleh gagasan pemikiran Mikhail
Bakhtin.
Mikhail Bakhtin adalah seorang filsuf Rusia yang mempunyai minat besar pada
sastra. Menurut Bakhtin, pendekatan intertekstual menekankanpengertian bahwa
sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan sisipan ataucangkokan pada
kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi,acuan
atau kutipan (Noor 2007:4-5). Selanjutnya, pendekatan intertekstualtersebut
diperkenalkan atau dikembangkan oleh Julia Kristeva (1980:66),
istilahintertekstual pada umumnya dipahami sebagai hubungan suatu teks dengan
tekslain.
Menurut
Kristeva, tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan, tiapteks merupakan
penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain. Kristevaberpendapat bahwa
setiap teks terjalin dari kutipan, peresapan, dan transformasiteks-teks lain.
Sewaktu
pengarang menulis, pengarang akan mengambil komponen-komponen teks lain sebagai
bahan dasar untuk menciptakan karyanya. Semua itudisusun, diberi warna dengan
penyesuaian dan ditambah agar menjadi karya yangutuh. Agar lebih menegaskan
pendapat itu Kristeva mengajukan dua alasan,pertama pengarang adalah seorang
pembaca teks sebelum menulis teks.Proses penulisan karya oleh seorang pengarang
tidak bisa dihindarkan dariberbagai jenis rujukan, kutipan, dan pengaruh.
Kedua, sebuah teks tersedia hanyamelalui proses pembacaan. Kemungkinan adanya
penerimaan atau penentanganterletak pada pengarang melalui proses pembacaan
(Worton, 1990:1).
Menurut
Kristeva (via Napiah, 1994:xv) interteks mempunyai prinsip dan kaidah
tersendiri dalam penelitian karya sastra antara lain: (1) interteks
melihathakikat sebuah teks yang di dalamnya terdapat banyak teks, (2)
interteksmenganalisis sebuah karya berdasarkan aspek yang membina karya
tersebut, yaituunsur seperti tema, plot, watak, dan bahasa serta unsur-unsur di
luar unsur strukturseperti sejarah, budaya, agama dan lain sebagainya yang
menjadi bagian darikomposisi teks, (3) intertekstual mengkaji keseimbangan
antara aspek dalamandan aspek luaran dengan melihat fungsi dan tujuan kehadiran
teks-teks tersebut,(4) teori interteks juga menyebut bahwa sebuah teks itu
tercipta berdasarkankarya-karya yang lain. Kajian tidak hanya tertumpu pada
teks yang dibaca, tetapidengan meneliti teks-teks lainnya untuk melihat
aspek-aspek yang meresap kedalam teks yang ditulis, dibaca atau dikaji, (5)
yang dipentingkan dalam interteksadalah menghargai pengambilan, kehadiran, dan
masuknya unsur-unsur lain kedalam sebuah karya.
Berdasarkan
prinsip dan kaidah intertekstual yang dikemukakan Kristeva (via Napiah,
1994:xv-xvi) terdapat beberapa rumusan antara lain: (1) pendekataninterteks
ternyata mempunyai kaidah atau metodologi tersendiri. Kaidah itumencoba
meneliti bahwa sastra merupakan suatu proses pengolahan, pembinaan,dan
pencemaran dua aspek, yaitu aspek dalam dan aspek luar, yang salingmembantu
untuk membentuk sebuah karya, (2) intertekstualitas juga melihatadanya berbagai
bentuk hadirnya sebuah teks yang menjadi dasar motif danaspirasi pengarang.
Pengambilan atau pengguna teks luaran menunjukkankesediaan pengarang untuk
memperkukuh karyanya atau merupakan penolakanterhadap ide, makna, dan unsur lain
yang bertentangan dengan paham atauaspirasi pengarang, (3) proses
intertekstualitas tidak dapat dipisahkan dari hasrat,aspirasi, dan ideologi
pengarang. Oleh karena itu, penelitian terhadap sebuah teksakan mencerminkan
sikap dan aspirasi pengarang itu sendiri. Dalam konsepintertekstual, teks yang
menjadi dasar penciptaan teks yang ditulis kemudian dipandang sebagai bentuk
hipogram (Riffatere 1978:23).
Karya
yang tercipta berdasarkan hipogram itu dapat disebut sebagai karya transformasi
karena sudah diubah dari bentuk semula. Pengubahan tersebut
berupa
unsur-unsur yang diserap sebuah teks dari teks hipogram yang mungkin berupa
kata, sintagma, model bentuk, gagasan, atau berbagai unsur-unsur intrinsik yang
lain, bahkan dapat pula berupa sifat kontraksinya. Dengan demikian makaakan
menghasilkan sebuah karya yang baru sehingga hipogramnya mungkin tidakdikenali
lagi bahkan dilupakan (Riffatere, 1978:165). Hal tersebut memungkinkanlahirnya
dua buah karya yang mempunyai unsur-unsur struktur sama, tetapi carapenyajian
dan judulnya berbeda, demikian pula sebaliknya (Culler 1977:241).
Menurut
Kristeva setiap teks termasuk teks sastra merupakan mozaik kutipan-kutipan dan
merupakan tanggapan atau penyerapan (transformasi) teks-teks lain.Oleh karena
itu, suatu teks baru bermakna penuh dalam hubungannya
denganteks-teks lain (Teeuw 1983:65).
Makna
karya sastra dapat diperoleh dengan cara tidak melepaskannya dari prinsip
kesejarahan karena karya sastra akan memberikan makna penuh apabiladihubungkan
dengan karya lain yang menimbulkan pertentangan. Keberadaansebuah karya selalu
berdasar pada sebuah karya sastra lain, baik karya itu salingbertentangan atau
sejalan. Lebih lanjut Teuuw (via Pradopo, 2009:112)menyatakan bahwa sebuah
karya sastra akan mendapatkan makna secaramendalam apabila dihubungkan dengan
karya yang melatarinya.
Makna
sebuah karya sepenuhnya akan didapat dengan cara memperhatikan ciri
khasnya sebagai tanda, tidak boleh pula dilepaskan hubungan sejarahnya, baik karya
oleh satu pengarang saja, karya satu zaman, maupun karya setelah dansebelumnya.
Karya biasanya memiliki kecenderungan meneruskan maupunmenentang ciri konsep
karya-karya sebelumnya. Kaitanya dengan konteks sejarah,perlu diperhatikan
prinsip-prinsip intertekstualitas, bahwa karya akan menjadibermakna apabila
dihubungkan dengan karya lain. Kristeva (via Sayuti, 2007)menyatakan bahwa
teks-teks terdahulu berfungsi bagi para pembacanya sebagaiintertekstual.
Artinya, pembaca telah berupaya untuk menciptakan sebuah karyasastra dengan
cara menjalin kutipan-kutipan ke dalam sebuah bentuk tekstualitasyang utuh
menyatu dan mengukuhkanya sebagai karya sastra yang baru terlahir akibat
peristiwa transformasi.
C. NILAI
BUDAYA
Dalam
kenyataan bahwa manusia tidak hidup di dalam alam hampa. Manusia hidup sebagai
manusia yang bermasyarakat, tidakmungkin tanpa kerjasama dengan orang lain.
Secara lahiriah danbatiniah maka manusia merupakan makhluk Tuhan yang
tersempurnadibanding dengan makhluk lain, karena pada manusia selain kehidupania
juga mempunyai kemampuanuntuk
berfikir dan berkarya.
Masyarakat
adalah suatu kelompok manusia, yang di antara para anggotanya terjadi
komunikasi, pertalian dan akhirnya salingmempengaruhi antara satu dengan yang
lain. Hal itu dilakukan oleh paraanggota masyarakat dalam suatu golongan karena
manusia tidak dapathidup sendiri.
Dalam
masyarakat lama, terjadi segolongan masyarakat adalah dengan cara mengikat atau
integratif. Dalam masyarakat seperti inimanusia tunduk kepada aturan-aturan dan
adat kebiasaan golongan,tempat mereka hidup. Hal ini dilakukan karena mereka
menginginkankehidupan yang stabil, kokoh, dan harmonis. Jika hal itu
tercapai,manusia dalam masyarakat itu tidak terlihat peranannya, yang lebih
jelastampak ke luar justru kebersamaannya. Segala macam masalah menjadimasalah
bersama dan harus diselesaikan bersama.
Nilai
budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat adalah nilai-nilai yang
berhubungan dengan kepentingan para anggotamasyarakat, bukan nilai yang
dianggap penting dalam satu anggotamasyarakat sebagai individu, sebagai
pribadi. Individu atauperseorangan berusaha mematuhi nilai-nilai yang ada dalam
masyarakatkarena dia berusaha untuk mengelompokkan diri dengan
anggotamasyarakat yang ada, yang sangat mementingkan kepentingan bersamabukan
kepentingan diri sendiri.
Nilai
budaya merupakan nilai yang ada dan berkembang di dalam masyarakat.
Koentjaraningrat (1984: 8-25) mengemukakan bahwa nilaibudaya itu adalah tingkat
pertama kebudayaan ideal atau adat. Nilaibudaya adalah lapisan paling abstrak
dan luas ruang lingkupnya. Jadi, nilai budaya adalah suatu yang dianggap sangat
berpengaruh dandijadikan pegangan bagi suatu masyarakat.
Selanjutnya
Koentjaraningrat (dalam Djamaris, 1996: 3) mengemukakan suatu sistem
nilai-nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsiyang hidup dalam alam pikiran
sebagian besar wargamasyarakat mengenai hal-hal yang
harus mereka anggap amat bernilaidalam hidup. Oleh karena itu, suatu sistem
nilai budaya biasanyaberfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.
Sistem tatakelakuan manusia yang tingkatnya lebih konkrit, seperti
aturan-aturankhusus, hukum, dan nilai budaya itu.
Djamaris
(1996: 3) mengungkapkan bahwa nilai budaya dikelompokkan ke dalam lima pola
hubungan, yaitu; (1) nilai budayadalam hubungan manusia dengan Tuhan, (2) nilai
budaya dalamhubungan manusia dengan alam, (3) nilai budaya dalam
hubunganmanusia dengan masyarakat, (4) nilai budaya dalam hubungan
manusiadengan orang lain atau sesamanya, (5) nilai budaya dalam hubunganmanusia
dengan dirinya sendiri.
BAB
III
METODE
PENELITIAN
A. PENELITIAN
KUALITATIF
Metode
penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Moelong (2002: 6)
mengemukakan bahwa metode penelitian kualitatifmerupakan prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupakata-katatertulis atau lisan tentang
sifat suatu individu, keadaan, atau gejaladari kelompok tertentu yang diamati.
Dalam
mengkaji novel Kei dan cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin
digunakan metode penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif, yaitu
yang dianalisis dan hasilanalisisnya berbentuk deskripsi, tidak berupa
angka-angka atau koefisiantentang hubungan variabel (Aminuddin, 1990: 16).
B. DATA
Data
pada dasarnya merupakan bahan mentah yang dikumpulkan oleh peneliti dari dunia
yang dipelajarinya (Sutopo, 2002: 73). Adapundata dalam penelitian ini berwujud
kata, ungkapan, kalimat yang terdapat dalam novel Kei karya Erni Aladjai yang diterbitkan oleh Gagas Media pada tahun
2013 setebal 254 halaman dan cerpen Sebab
Aku Cinta Sebab Aku Angin karya Helvy Tiana Rosa yang ditulis pada tahun
2001 yang terdapat dalam buku kumpulan cerpen Bukavu dan Juragan Haji.
BAB
IV
TEMUAN
DAN PEMBAHASAN
A. ANALISIS
STRUKTURAL NOVEL KEI DAN CERPEN SEBAB AKU CINTA SEBAB AKU ANGIN
1.) Tema
Novel
Kei
|
Cerpen
Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin
|
Percintaan
yang dilatarbelakangi oleh peperangan di Kei, Ambon.
|
Keberanian
seorang gadis melawan peperangan di Batu Merah, Ambon.
|
2.) Tokoh
Novel
Kei
|
Cerpen
Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin
|
1.
Namira
2.
Sala
3.
Merry
4.
Ibu
5.
Ayah
6.
Pieter
7.
Emiliana
8.
Max
9.
Esme
10.
Bos Yo
11.
Edo
|
1.
Aku/Angin
2.
Nona/Cinta
3.
Ibu
4.
Bapak
5.
Ali
6.
Abid
7.
Perawat
|
3.) Latar
Novel
Kei
|
Cerpen
Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin
|
||||
Tempat
|
Waktu
|
Suasana
|
Tempat
|
Waktu
|
Suasana
|
Makassar
Elaar
Watran
Hutan Ohoitel
Langgur
Evu
Laut Banda
Jakarta
Balikpapan
|
Maret
1999-November 2001
|
Mencekam
akibat peperangan
|
Batu Merah
|
Januari-Maret
1999
|
Mencekam
akibat peperangan
|
Dalam novel Kei, latar tempat dan waktu dijelaskan secara eksplisit di setiap
awal bab. Sedangkan dalam cerpen Sebab
Aku Cinta Sebab Aku Angin, latar tempat dan waktu diselipkan dalam isi
cerita.
Latar suasana novel Kei maupun cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin sama-sama menunjukkan suasana
mencekam akibat peperangan yang sedang terjadi di latar tempat kedua cerita
tersebut. Latar tempat kedua cerita tersebut sama-sama di Ambon, namun daerah
yang berbeda.
4.) Alur
Novel
Kei
|
Cerpen
Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin
|
Maju
Mundur
|
Maju
Mundur
|
B. ANALISIS
NILAI BUDAYA NOVEL KEI DAN CERPEN SEBAB AKU CINTA SEBAB AKU ANGIN
1.) Agama/Religi
Novel
Kei
|
Cerpen
Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin
|
Islam
Kristen
Protestan
|
Mayoritas
Islam
|
Dalam novel Kei, agama para tokoh diceritakan sangat beragam dan merata karena
pulau Kei terkenal dengan rasa tenggang rasa dan saling menghormati antar agama
yang tinggi.
“Tak
ada Islam, tak ada Kristen, Ra. Kita semua bersaudara, kita makan sepiring,
tidur bersama tapi kerusuhan membuat kita terpisah.”
(Novel Kei, halaman 4)
Dalam cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin, agama
yang diceritakan mayoritas Islam karena latar waktunya adalah saat sedang
sholat idul fitri.
Keesokan
harinya, 19 Januari 1999. Pagi-pagi sekali, kulihat Nona dan keluarganya, juga
kaum muslimin yang lain berduyun duyun ke tanah lapang. Gema takbir terdengar
di mana-mana. Dengan khusyu mereka melakukan salat Ied.(Kutipan
cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin)
2.) Bahasa
Novel
Kei
|
Cerpen
Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin
|
Bahasa
Ambon
|
Bahasa
Ambon
|
Dalam novel Kei, banyak diselipkan bahasa Ambon. Contohnya seperti kutipan di
bawah ini:
“Beta
sayang ale.” yang artinya“saya menyayangimu.” (Novel Kei, halaman 127).
Hal yang sama juga
dapat ditemukan dalam cerpen Sebab Aku
Cinta Sebab Aku Angin.
."Beta
seng bisa manangis,"yang artinya “saya tidak bisa
menangis,” (Kutipan cerpen Sebab Aku
Cinta Sebab Aku Angin).
3.) Kebudayaan
Tradisional
Novel
Kei
|
Cerpen
Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin
|
Enbal
(makanan, hal. 3)
Sosoy
Swar Man-Vuun (tarian, hal. 11)
Tutup
Sasi Laut (upacara, hal. 13)
Sife
Siflyoi (permainan, hal. 141)
Nevnev
(pelanggaran pidana, hal. 174)
Vehe
Belan (ritual adat, hal. 193)
|
Bagia
(makanan)
Kalewang
(senjata)
Pisang
Meja (makanan)
Arumbai,
Kole-Kole (kendaraan perahu)
Salawaku
(senjata)
|
Baik novel Kei maupun cerpen Sebab Aku
Cinta Sebab Aku Angin banyak menyisipkan kebudayaan tradisional Ambon
seperti makanan, senjata, tarian, dan lain sebagainya seperti yang sudah
dicantumkan di tabel yang ada di atas.
C. HUBUNGAN
INTERTEKSTUAL ANTARA HIPOGRAM DAN TEKS TRANSFORMASI
Setelah
menelisik kedua cerita dalam bentuk berbeda ini—novel dan cerpen—maka dapat
disimpulkan bahwa hipogram di antara keduanya yaitu cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin karyaHelvy Tiana Rosa yang ditulis
pada 6 Februari 2001. Sedangkan novel Kei
karya Erni Aladjai yang merupakan Pemenang Unggulan Dewan Kesenian Jakarta 2012
adalah teks tranformasinya karena baru muncul kemudian, yaitu diterbitkan pada
tahun 2013 oleh Gagas Media.
Kedua
cerita ini memiliki tema yang jauh berbeda namun mengambil latar yang sama
yaitu peperangan di Ambon sekitar tahun 1999. Selain itu, nama-nama tokoh dan
sifatnya juga jauh berbeda, namun alur dalam kedua cerita ini sama yaitu
memakai alur maju mundur.
Kebudayaan
tradisional yang diangkat dalam kedua cerita ini tentu saja tidak jauh berbeda
karena kedua cerita ini mengangkat latar yang sama. Namun, teks transformasinya
yang tak lain adalah novel Kei, tentu
lebih luas dalam hal menggali latar dan kebudayaan tradisional Ambon karena
berbentuk novel. Sedangkan cerpen Sebab
Aku Cinta Sebab Aku Angin lebih terbatas dalam membahas kebudayaan
tradisionalnya karena sebuah cerpen harus lugas dan langsung pada intinya.
BAB
V
KESIMPULAN
Menurut
Kristeva (via Napiah, 1994: xv) interteks mempunyai prinsip dan kaidah
tersendiri dalam penelitian karya sastra antara lain: (1) interteks melihat
hakikat sebuah teks yang di dalamnya terdapat banyak teks, (2) interteks
menganalisis sebuah karya berdasarkan aspek yang membina karya tersebut, yaitu
unsur seperti tema, plot, watak, dan bahasa serta unsur-unsur di luar unsur
struktur seperti sejarah, budaya, agama dan lain sebagainya yang menjadi bagian
dari komposisi teks, (3) intertekstual mengkaji keseimbangan antara aspek
dalaman dan aspek luaran dengan melihat fungsi dan tujuan kehadiran teks-teks
tersebut, (4) teori interteks juga menyebut bahwa sebuah teks itu tercipta
berdasarkan karya-karya yang lain. Kajian tidak hanya tertumpu pada teks yang
dibaca, tetapi dengan meneliti teks-teks lainnya untuk melihat aspek-aspek yang
meresap ke dalam teks yang ditulis, dibaca atau dikaji, (5) yang dipentingkan
dalam interteks adalah menghargai pengambilan, kehadiran, dan masuknya
unsur-unsur lain ke dalam sebuah karya.
Setelah
mengkaji novel Kei dan cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin
menggunakan pendekatan struktural dan intertekstual, maka dapat disimpulkan
bahwa hipogram di antara keduanya yaitu cerpen Sebab Aku Cinta Sebab Aku Angin karya Helvy Tiana Rosa yang ditulis
pada 6 Februari 2001.
Sedangkan novel Kei
karya Erni Aladjai yang merupakan Pemenang Unggulan Dewan Kesenian Jakarta 2012
adalah teks tranformasinya karena baru muncul kemudian, yaitu diterbitkan pada
tahun 2013 oleh Gagas Media.
DAFTAR
PUSTAKA
Aladjai,
Erni. 2013. Kei. Jakarta: Gagas Media.
Jabrohim.
2003. Metodologi Penelitian Sastra.
Jakarta: Hanindita Graha Widya.
Moeloeng,
Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: RosdaKarya.
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori
Pengkajian Fiksi.Yogyakarta: Gadjah Mada University.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Prinsip-Prinsip
Kritik Sastra: Teori dan Penerapannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori,
Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rosa,
Helvy Tiana. 2014. Juragan Haji.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sangidu. 2004. Penelitian Sastra:
Pendekatan, Teori, Metode, Teknik, dan Kiat.Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada Press.
Satoto, Soediro. 1992. Metodologi Penelitian Sastra Bagian I.
Surakarta: UNS Press.
Sayuti, Suminto A. 2007. Intertekstualitas:
Beberapa Catatan PengantarBagi Pengkaji Sastra. Diktat FBS UNY.
Semi,
M. Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra.
Bandung: Angkasa.
Teeuw,
A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wiyatmi.
2006. Pengantar Kajian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar