Diskusi publik yang
diselenggarakan di Auditorium Maftuchah Yusuf Gedung Dewi Sartika lantai II UNJ
pada hari Senin, 29 Februari 2016 ini diadakan oleh Pusat Kajian Edukasi Seni
Budaya Betawi (Pusake Betawi) Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri
Jakarta dan Betawi Center Foundation, serta didukung oleh Program Studi Sastra
Indonesia UNJ dan Penerbit Padasan.
Diskusi ini bertujuan
untuk menyosialisasikan dan memberikan peningkatan apresiasi masyarakat lokal,
nasional, dan internasional terhadap seni budaya Betawi dengan merancang dan
memanfaatkan sumber informasi serta menghadirkan narasumber seni budaya Betawi.
Selain itu juga dapat meningkatkan minat masyarakat Betawi terhadap pelestarian
dan pengembangan seni budaya Betawi secara teoritis maupun praktis.
Narasumber yang hadir
dalam diskusi ini untuk memberikan materi yaitu Bapak Abdul Chaer, Bapak Chairil
Gibran Ramadhan, Bapak Irsyad Ridho, dan Bapak Sam Mochtar Chaniago didampingi
oleh moderator yaitu Bapak Erfi Firmansyah.
Diskusi ini diawali
dengan sebuah pertanyaan yang cukup membuat kita diliputi rasa ingin tahu, ‘Apakah bahasa Betawi itu memang benar-benar
bahasa ataukah bahasa Melayu dialek Betawi?’. Pak Abdul Chaer pun
memberikan penjelasan, ‘Bahasa adalah
jika dua orang saling mengerti. Bahasa Betawi itu bahasa atau dialek? Secara
politis bisa sebagai bahasa. Secara sosiolinguistik hanya dialek dari bahasa
Melayu (Kalimantan Barat)’.
Penjelasan ini kemudian
meluas hingga ke sejarah Betawi—yang menurut Pak Abdul Chaer, ‘Nama Betawi berdasarkan surat wasiat
perempuan China pada tahun 1640’, pendapat para narasumber mengenai Betawi—seperti
‘Jadi orang Betawi tidak gampang’
yang dikemukakan oleh Pak Chairil Gibran dan pendapat Pak Irsyad Ridho
mengenai, ‘Budaya sarat dengan
penciptaan-penciptaan baru. Oleh karena itu, keaslian tidak ada karena terus
diciptakan’, pertanyaan dan juga
tambahan pendapat dari audiens, dan terakhir adalah ‘Apakah bahasa Betawi layak masuk kampus?’. Pak Erfi Firmansyah
sebagai moderator menyatakan, ‘Betawi
layak masuk kampus, dengan catatan’. Lalu Pak Sam Mochtar Chaniago
menambahkan, ‘Betawi jadi MKU yaitu
ISBD+Betawi telah disetujui Rektor. Betawi sudah dijadikan mata kuliah pilihan
di prodi’. Sedangkan Pak Irsyad Ridho berpendapat bahwa, ‘Menjadikan matkul tidak serta merta membuat
Betawi menjadi satu, karena bila begitu hanya akan menghancurkan’.
Bahasa Betawi memang
pasti erat dikaitkan dengan Jakarta. Oleh karena itu, sebagai satu-satunya
Universitas Negeri yang berlokasi di Jakarta, UNJ patut memperhatikan
perkembangan budaya dan bahasa Betawi, serta melestarikannya karena seperti
yang diungkapkan oleh Pak Abdul Chaer, ‘Akibat
pertumbuhan penduduk di Jakarta, orang Betawi tercerai berai sehingga bahasanya
mengkhawatirkan. Selain itu, adanya ramalan yang mengatakan bahwa semua suku
akan datang ke Jakarta, sehingga nanti akan ada bahasa Jakarta, bukan bahasa
Betawi’.
Diskusi yang dimulai
pukul 13.00 ini berakhir pada pukul 17.30 dan diskusi ini memberikan banyak
manfaat serta pengetahuan baru mengenai bahasa, juga kebudayaan Betawi yang
perlu diketahui oleh mahasiswa Universitas Negeri Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar