Sabtu, 31 Desember 2016

Liputan: Apakah Bahasa dan Sastra Betawi Layak Masuk Kampus? Apakah Layak Menjadi Nama Sebuah Mata Kuliah?


Diskusi publik yang diselenggarakan di Auditorium Maftuchah Yusuf Gedung Dewi Sartika lantai II UNJ pada hari Senin, 29 Februari 2016 ini diadakan oleh Pusat Kajian Edukasi Seni Budaya Betawi (Pusake Betawi) Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta dan Betawi Center Foundation, serta didukung oleh Program Studi Sastra Indonesia UNJ dan Penerbit Padasan.

Diskusi ini bertujuan untuk menyosialisasikan dan memberikan peningkatan apresiasi masyarakat lokal, nasional, dan internasional terhadap seni budaya Betawi dengan merancang dan memanfaatkan sumber informasi serta menghadirkan narasumber seni budaya Betawi. Selain itu juga dapat meningkatkan minat masyarakat Betawi terhadap pelestarian dan pengembangan seni budaya Betawi secara teoritis maupun praktis.


Narasumber yang hadir dalam diskusi ini untuk memberikan materi yaitu Bapak Abdul Chaer, Bapak Chairil Gibran Ramadhan, Bapak Irsyad Ridho, dan Bapak Sam Mochtar Chaniago didampingi oleh moderator yaitu Bapak Erfi Firmansyah.

Diskusi ini diawali dengan sebuah pertanyaan yang cukup membuat kita diliputi rasa ingin tahu, ‘Apakah bahasa Betawi itu memang benar-benar bahasa ataukah bahasa Melayu dialek Betawi?’. Pak Abdul Chaer pun memberikan penjelasan, ‘Bahasa adalah jika dua orang saling mengerti. Bahasa Betawi itu bahasa atau dialek? Secara politis bisa sebagai bahasa. Secara sosiolinguistik hanya dialek dari bahasa Melayu (Kalimantan Barat)’.

Penjelasan ini kemudian meluas hingga ke sejarah Betawi—yang menurut Pak Abdul Chaer, Nama Betawi berdasarkan surat wasiat perempuan China pada tahun 1640’, pendapat para narasumber mengenai Betawi—seperti ‘Jadi orang Betawi tidak gampang’ yang dikemukakan oleh Pak Chairil Gibran dan pendapat Pak Irsyad Ridho mengenai, ‘Budaya sarat dengan penciptaan-penciptaan baru. Oleh karena itu, keaslian tidak ada karena terus diciptakan’,  pertanyaan dan juga tambahan pendapat dari audiens, dan terakhir adalah ‘Apakah bahasa Betawi layak masuk kampus?’. Pak Erfi Firmansyah sebagai moderator menyatakan, ‘Betawi layak masuk kampus, dengan catatan’. Lalu Pak Sam Mochtar Chaniago menambahkan, ‘Betawi jadi MKU yaitu ISBD+Betawi telah disetujui Rektor. Betawi sudah dijadikan mata kuliah pilihan di prodi’. Sedangkan Pak Irsyad Ridho berpendapat bahwa, ‘Menjadikan matkul tidak serta merta membuat Betawi menjadi satu, karena bila begitu hanya akan menghancurkan’.

Bahasa Betawi memang pasti erat dikaitkan dengan Jakarta. Oleh karena itu, sebagai satu-satunya Universitas Negeri yang berlokasi di Jakarta, UNJ patut memperhatikan perkembangan budaya dan bahasa Betawi, serta melestarikannya karena seperti yang diungkapkan oleh Pak Abdul Chaer, ‘Akibat pertumbuhan penduduk di Jakarta, orang Betawi tercerai berai sehingga bahasanya mengkhawatirkan. Selain itu, adanya ramalan yang mengatakan bahwa semua suku akan datang ke Jakarta, sehingga nanti akan ada bahasa Jakarta, bukan bahasa Betawi’.

Diskusi yang dimulai pukul 13.00 ini berakhir pada pukul 17.30 dan diskusi ini memberikan banyak manfaat serta pengetahuan baru mengenai bahasa, juga kebudayaan Betawi yang perlu diketahui oleh mahasiswa Universitas Negeri Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar