Nama: Zahra Salsabila
Kelas: 2 SI S
NIM: 2125140269
Kajian
terhadap ‘Sastra dari Perspektif Kajian Budaya: Analisis Novel Saman dan
Larung’ dari Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra, ‘Logat’.
Novel Saman dan Larung karya Ayu Utami memang fenomenal pada tahun 2000-an sehingga
membuat novel-novel tersebut, khususnya Saman,
ramai dibicarakan di berbagai media cetak, skripsi, tesis, dan buku. Hal ini
pula yang membuat Ayu Utami dianggap sebagai pelopor Angkatan 2000 dalam novel.
Dalam kajian yang akan
saya kaji ini, penulis ingin mengkaji kedua novel ini dengan tiga teori, yaitu
dekonstruksi, estetika, dan semiotika. Hal ini tentu saja sangat berbeda jika
dibandingkan dengan kajian-kajian lain pada umumnya yang hanya mengkaji sebuah
karya sastra dengan satu teori.
Dimulai dari
pendahuluan dalam kajian ini, penulis terlebih dulu menjelaskan tentang tiga
dimensi yang tidak dapat dihindarkan dalam dunia sastra modern, yaitu penulis,
buku, dan pembaca (pengarang, karya, dan publik). Ketiga dimensi ini juga
menimbulkan kajian dan kritik sastra dari perspektif yang berbeda-beda karena
banyak cara untuk mengungkapkan fakta sastra tersebut.
Penulis ingin membahas
novel-novel ini dari perspektif kajian budaya. Jadi, ia menambahkan bahwa perspektif
kajian budaya merupakan suatu pandangan yang membawa sebuah karya sastra pada
tingkatan yang lebih menekankan pada fenomena-fenomena tersebut. Misalnya,
seorang pengarang sebagai individu sekaligus sebagai wakil dari masyarakatnya.
Dalam hal ini, tentu saja pengarang mengemban misi dominan pandangan dunia yang
melingkupinya. Pengarang hidup pada lingkup suatu budaya yang melingkarinya.
Selanjutnya, penulis
kajian ini mengingatkan kita kembali dengan awal mula munculnya Saman dan Larung, hal-hal yang menggelisahkan Ayu Utami sehingga terbentuknya
novel-novel ini, serta komentar-komentar para pembaca dari cybersastra.
Masuk ke dalam
teori-teori yang ingin penulis pakai dalam menganalisis kedua novel ini, mulai
muncul beberapa kejanggalan. Penulis mengemukakan bahwa teori dekonstruksi yang
ia pakai ini akan dikaitkan dengan teori estetika dan semiotika karena ketiga teori ini dapat mewakili
poststrukturalisme yang secara khusus dalam kajian budaya merupakan metodologi
di samping kulturalisme, begitu sang penulis mengutip dari Richard Johnson
dalam buku Rokhman, Cultural Materialism
dalam Kajian Sastra.
Saat membaca kajian ini
lebih lanjut, penulis mengutip beberapa percakapan dalam novel Saman dan Larung yang mengungkap kejadian nyata seperti demonstrasi buruh
yang terjadi di Medan tahun 1994, yang menyebabkan seorang pengusaha Cina
terbunuh. Tokoh Saman disejajarkan dengan Mayasak Johan dan Mochtar Pakpahan
(tokoh nyata). Hal ini membuat pembaca novel Saman akan memahami makna lain dari peristiwa yang diinformasikan
oleh media cetak.
Lalu, dalam novel Larung digambarkan kejadian 27 Juli
1996, kantor DPP PDI diserbu oleh pendukung kongres IV PDI di Medan yang
mengangkat Soerjadi sebagai ketua umum PDI. Padahal, masa jabatan Megawati
belum berakhir.
Hal-hal tersebut dikaji
dengan teori estetika postmodernisme. Estetika postmodernisme merupakan teori
yang mengaitkan teks dengan konteks. Hal ini terjadi karena fakta yang secara
realistis ada dalam kehidupan masyarakat dimasukkan dalam sebuah karya sastra. Fakta
yang diungkapkan dengan bahasa yang estetis bahkan puitis akan memberikan makna
konotatif, selain makna denotatif.
Lalu, dilanjutkan
dengan pembahasan teori estetika feminis. Penulis memakai teori estetika
feminis karena Ayu Utami dipandang sebagai sosok perempuan yang menginginkan
adanya kesetaraan, pendobrakan terhadap pembedaan sosial antara laki-laki dan
perempuan. Dalam kajian ini, penulis ingin mengeksplor representasi seksualitas
perempuan yang ditulis oleh Ayu Utami.
Menurut Cixous (Tong,
2004:294 dalam Brooks, 2005:121) seksualitas perempuan yang ditulis secara feminin
akan lebih terbuka dan beragam, bervariasi dan penuh dengan ritmik dan
kenikmatan, yang lebih penting lagi penuh dengan kemungkinan.
Penulis mengutip
percakapan antara Laila dan Shakuntala. Dalam percakapan itu Shakuntala
mengatakan bahwa “Tak boleh lagi kamu dicium, kataku, besok-besok kamu harus
ciuman.” Juga e-mail Saman pada
Yasmin “Ajarilah aku. Perkosalah aku.”
Sedangkan, dalam novel Larung, penulis kajian ini mengutip
metafora persetubuhan yang digambarkan oleh Ayu Utami dengan bahasa sains
seperti bunga karnivora, nitrogen pada nepenthes, dan sebagainya.
“Sebab
vagina adalah sejenis bunga karnivora sebagaimana kantong semar. Namun, ia
tidak mengundang serangga, melainkan binatang yang lebih besar, bodoh, dan tak
bertulang belakang, dengan manipulasi aroma lendir sebagaimana yang dilakukan
bakung bangkai. Sesungguhnya, bunga karnivora bukan memakan daging melainkan
menghisap cairan dari makhluk yang terjebak dalam rongga di balik
kelopak-kelopaknya yang hangat. Otot-ototnya yang kuat, rerelung dindingnya
yang kedap, dan permukaan liangnya yang basah akan memeras binatang yang masuk,
dalam gerakan berulang-ulang, hingga bunga itu memperoleh cairan yang ia
hauskan. Nitrogen pada nepenthes, sperma pada vagina.
Tapi
klitoris bunga ini tahu bagaimana menikmati dirinya dengan getaran yang
disebabkan angin.” (Larung, 153)
Saya mulai menyukai
cara penulis ini menganalisis novel Saman
dan Larung menggunakan teori estetika
feminis karena lebih jelas dan lebih mudah dimengerti. Apakah ini karena Ayu
Utami juga terkenal sebagai seorang yang feminis?
Terakhir, saya dibuat
kecewa dengan penulis yang ingin mengkaji dengan teori semiotika Roland
Barthes. Karena sang penulis hanya membahas kover depan novel Saman yang
menurutnya makna denotasi kover itu menunjukkan seorang peri sedang menuliskan
sesuatu di atas kepala orang lain (analisis semiotika Barthes tingkat pertama),
sedangkan makna konotasinya adalah seorang peri yang akan mengubah pandangan
orang tersebut (analisis semiotika Barthes tingkat kedua).
Setelah membaca
keseluruhan kajian ini, ada satu hal yang janggal, yaitu tidak ada suatu unsur
dalam novel Saman dan Larung yang dikaji dengan teori dekonstruksi.
Makna dekonstruksi
secara umum adalah tindakan subjek yang membongkar suatu objek yang tersusun
dari berbagai unsur yang memang layak dibongkar.
Cara terbaik dalam
menggali makna tersembunyi menurut Derrida ini adalah dengan selalu
mempertanyakan semua hal dan menempatkannya pada yang baru. Dengan demikian,
kita tidak membiarkan diri kita untuk (senantiasa) menerima sistem yang sudah
ada yang telah diterima oleh orang banyak.
Dalam kaitannya dengan
karya sastra, dekonstruksi adalah cara pembacaan karya sastra. Pembacaan karya
sastra, menurut dekonstruksi, tidak dimaksudkan untuk menegaskan makna
sebagaimana lazimnya dilakukan. Akan tetapi, dekonstruksi bermaksud untuk
melacak unsur-unsur aporia; makna paradoksal, kontradiktif, dan ironi yang
terdapat dalam karya sastra. Unsur-unsur itu dicari dan dipahami justru dalam
arti sebaliknya. (Nurgiyantoro, 1998:60-61)
Selain itu, dekonstruksi
memberikan dorongan untuk menemukan segala sesuatu yang selama ini tidak
memperoleh perhatian. Unsur-unsur yang ‘tidak penting’ diangkat menjadi
‘penting’.
Jika penulis ingin
menggunakan teori dekonstruksi, seharusnya novel-novel ini ‘diruntuhkan’
terlebih dahulu, baru kemudian dibangun kembali. Sebagai pembaca, saya jadi
kurang paham mengenai teori dekonstruksi yang hendak dipakai sang penulis.
Kesimpulannya adalah
penulis kajian ini kurang bisa mengembangkan banyak hal yang masih belum
tergali dalam novel Saman dan Larung, khususnya dengan teori
dekonstruksi dan semiotika. Sedangkan, untuk teori estetika feminis menurut
saya penulis cukup berhasil mengembangkan gaya bahasa Ayu Utami yang penuh
metafora dalam menggambarkan hal-hal yang vulgar serta kalimat-kalimat yang
menunjukkan feminismenya.
Selain itu, karena
penulis mengkaji dua novel dan dengan tiga teori sekaligus, membuat kurang
kuatnya kajian ini begitu jelas terlihat. Seharusnya, penulis hanya mengkaji
satu novel dengan satu teori agar lebih fokus.
Sumber:
‘Sastra dari Kajian
Perspektif Budaya: Analisis Novel Saman dan Larung’ oleh Ikhwanuddin Nasution
dalam ‘Logat, Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra’ Volume II No. 1 April Tahun 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar