Sabtu, 31 Desember 2016

Esai: Kajian terhadap Kajian

Nama: Zahra Salsabila
Kelas: 2 SI S
NIM: 2125140269

Kajian terhadap ‘Sastra dari Perspektif Kajian Budaya: Analisis Novel Saman dan Larung’ dari Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra, ‘Logat’.

Novel Saman dan Larung karya Ayu Utami memang fenomenal pada tahun 2000-an sehingga membuat novel-novel tersebut, khususnya Saman, ramai dibicarakan di berbagai media cetak, skripsi, tesis, dan buku. Hal ini pula yang membuat Ayu Utami dianggap sebagai pelopor Angkatan 2000 dalam novel.

Dalam kajian yang akan saya kaji ini, penulis ingin mengkaji kedua novel ini dengan tiga teori, yaitu dekonstruksi, estetika, dan semiotika. Hal ini tentu saja sangat berbeda jika dibandingkan dengan kajian-kajian lain pada umumnya yang hanya mengkaji sebuah karya sastra dengan satu teori.


Dimulai dari pendahuluan dalam kajian ini, penulis terlebih dulu menjelaskan tentang tiga dimensi yang tidak dapat dihindarkan dalam dunia sastra modern, yaitu penulis, buku, dan pembaca (pengarang, karya, dan publik). Ketiga dimensi ini juga menimbulkan kajian dan kritik sastra dari perspektif yang berbeda-beda karena banyak cara untuk mengungkapkan fakta sastra tersebut.

Penulis ingin membahas novel-novel ini dari perspektif kajian budaya. Jadi, ia menambahkan bahwa perspektif kajian budaya merupakan suatu pandangan yang membawa sebuah karya sastra pada tingkatan yang lebih menekankan pada fenomena-fenomena tersebut. Misalnya, seorang pengarang sebagai individu sekaligus sebagai wakil dari masyarakatnya. Dalam hal ini, tentu saja pengarang mengemban misi dominan pandangan dunia yang melingkupinya. Pengarang hidup pada lingkup suatu budaya yang melingkarinya.

Selanjutnya, penulis kajian ini mengingatkan kita kembali dengan awal mula munculnya Saman dan Larung, hal-hal yang menggelisahkan Ayu Utami sehingga terbentuknya novel-novel ini, serta komentar-komentar para pembaca dari cybersastra.

Masuk ke dalam teori-teori yang ingin penulis pakai dalam menganalisis kedua novel ini, mulai muncul beberapa kejanggalan. Penulis mengemukakan bahwa teori dekonstruksi yang ia pakai ini akan dikaitkan dengan teori estetika dan semiotika  karena ketiga teori ini dapat mewakili poststrukturalisme yang secara khusus dalam kajian budaya merupakan metodologi di samping kulturalisme, begitu sang penulis mengutip dari Richard Johnson dalam buku Rokhman, Cultural Materialism dalam Kajian Sastra.

Saat membaca kajian ini lebih lanjut, penulis mengutip beberapa percakapan dalam novel Saman dan Larung yang mengungkap kejadian nyata seperti demonstrasi buruh yang terjadi di Medan tahun 1994, yang menyebabkan seorang pengusaha Cina terbunuh. Tokoh Saman disejajarkan dengan Mayasak Johan dan Mochtar Pakpahan (tokoh nyata). Hal ini membuat pembaca novel Saman akan memahami makna lain dari peristiwa yang diinformasikan oleh media cetak.

Lalu, dalam novel Larung digambarkan kejadian 27 Juli 1996, kantor DPP PDI diserbu oleh pendukung kongres IV PDI di Medan yang mengangkat Soerjadi sebagai ketua umum PDI. Padahal, masa jabatan Megawati belum berakhir.

Hal-hal tersebut dikaji dengan teori estetika postmodernisme. Estetika postmodernisme merupakan teori yang mengaitkan teks dengan konteks. Hal ini terjadi karena fakta yang secara realistis ada dalam kehidupan masyarakat dimasukkan dalam sebuah karya sastra. Fakta yang diungkapkan dengan bahasa yang estetis bahkan puitis akan memberikan makna konotatif, selain makna denotatif.

Lalu, dilanjutkan dengan pembahasan teori estetika feminis. Penulis memakai teori estetika feminis karena Ayu Utami dipandang sebagai sosok perempuan yang menginginkan adanya kesetaraan, pendobrakan terhadap pembedaan sosial antara laki-laki dan perempuan. Dalam kajian ini, penulis ingin mengeksplor representasi seksualitas perempuan yang ditulis oleh Ayu Utami.

Menurut Cixous (Tong, 2004:294 dalam Brooks, 2005:121) seksualitas perempuan yang ditulis secara feminin akan lebih terbuka dan beragam, bervariasi dan penuh dengan ritmik dan kenikmatan, yang lebih penting lagi penuh dengan kemungkinan.

Penulis mengutip percakapan antara Laila dan Shakuntala. Dalam percakapan itu Shakuntala mengatakan bahwa “Tak boleh lagi kamu dicium, kataku, besok-besok kamu harus ciuman.” Juga e-mail Saman pada Yasmin “Ajarilah aku. Perkosalah aku.”

Sedangkan, dalam novel Larung, penulis kajian ini mengutip metafora persetubuhan yang digambarkan oleh Ayu Utami dengan bahasa sains seperti bunga karnivora, nitrogen pada nepenthes, dan sebagainya.

“Sebab vagina adalah sejenis bunga karnivora sebagaimana kantong semar. Namun, ia tidak mengundang serangga, melainkan binatang yang lebih besar, bodoh, dan tak bertulang belakang, dengan manipulasi aroma lendir sebagaimana yang dilakukan bakung bangkai. Sesungguhnya, bunga karnivora bukan memakan daging melainkan menghisap cairan dari makhluk yang terjebak dalam rongga di balik kelopak-kelopaknya yang hangat. Otot-ototnya yang kuat, rerelung dindingnya yang kedap, dan permukaan liangnya yang basah akan memeras binatang yang masuk, dalam gerakan berulang-ulang, hingga bunga itu memperoleh cairan yang ia hauskan. Nitrogen pada nepenthes, sperma pada vagina.
Tapi klitoris bunga ini tahu bagaimana menikmati dirinya dengan getaran yang disebabkan angin.” (Larung, 153)

Saya mulai menyukai cara penulis ini menganalisis novel Saman dan Larung menggunakan teori estetika feminis karena lebih jelas dan lebih mudah dimengerti. Apakah ini karena Ayu Utami juga terkenal sebagai seorang yang feminis?

Terakhir, saya dibuat kecewa dengan penulis yang ingin mengkaji dengan teori semiotika Roland Barthes. Karena sang penulis hanya membahas kover depan novel Saman yang menurutnya makna denotasi kover itu menunjukkan seorang peri sedang menuliskan sesuatu di atas kepala orang lain (analisis semiotika Barthes tingkat pertama), sedangkan makna konotasinya adalah seorang peri yang akan mengubah pandangan orang tersebut (analisis semiotika Barthes tingkat kedua).

Setelah membaca keseluruhan kajian ini, ada satu hal yang janggal, yaitu tidak ada suatu unsur dalam novel Saman dan Larung yang dikaji dengan teori dekonstruksi.

Makna dekonstruksi secara umum adalah tindakan subjek yang membongkar suatu objek yang tersusun dari berbagai unsur yang memang layak dibongkar.

Cara terbaik dalam menggali makna tersembunyi menurut Derrida ini adalah dengan selalu mempertanyakan semua hal dan menempatkannya pada yang baru. Dengan demikian, kita tidak membiarkan diri kita untuk (senantiasa) menerima sistem yang sudah ada yang telah diterima oleh orang banyak.

Dalam kaitannya dengan karya sastra, dekonstruksi adalah cara pembacaan karya sastra. Pembacaan karya sastra, menurut dekonstruksi, tidak dimaksudkan untuk menegaskan makna sebagaimana lazimnya dilakukan. Akan tetapi, dekonstruksi bermaksud untuk melacak unsur-unsur aporia; makna paradoksal, kontradiktif, dan ironi yang terdapat dalam karya sastra. Unsur-unsur itu dicari dan dipahami justru dalam arti sebaliknya. (Nurgiyantoro, 1998:60-61)

Selain itu, dekonstruksi memberikan dorongan untuk menemukan segala sesuatu yang selama ini tidak memperoleh perhatian. Unsur-unsur yang ‘tidak penting’ diangkat menjadi ‘penting’.

Jika penulis ingin menggunakan teori dekonstruksi, seharusnya novel-novel ini ‘diruntuhkan’ terlebih dahulu, baru kemudian dibangun kembali. Sebagai pembaca, saya jadi kurang paham mengenai teori dekonstruksi yang hendak dipakai sang penulis.

Kesimpulannya adalah penulis kajian ini kurang bisa mengembangkan banyak hal yang masih belum tergali dalam novel Saman dan Larung, khususnya dengan teori dekonstruksi dan semiotika. Sedangkan, untuk teori estetika feminis menurut saya penulis cukup berhasil mengembangkan gaya bahasa Ayu Utami yang penuh metafora dalam menggambarkan hal-hal yang vulgar serta kalimat-kalimat yang menunjukkan feminismenya.

Selain itu, karena penulis mengkaji dua novel dan dengan tiga teori sekaligus, membuat kurang kuatnya kajian ini begitu jelas terlihat. Seharusnya, penulis hanya mengkaji satu novel dengan satu teori agar lebih fokus.



Sumber:
‘Sastra dari Kajian Perspektif Budaya: Analisis Novel Saman dan Larung’ oleh Ikhwanuddin Nasution dalam ‘Logat, Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra’ Volume II No. 1 April Tahun 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar