Sabtu, 31 Desember 2016

Esai: Sutardji Calzoum Bachri, Presiden Penyair Indonesia yang Takkan Tergantikan

“Sebetulnya bukan Presiden Penyair, tapi Presiden Puisi, bukan Penyair. Penyair itu manusia, kan? Ini puisi. Aku menganggap bukuku bagus-bagus, jadi top seperti Presiden lah top. Karena dulu top, maka Presiden Puisi. Tapi wartawan salah dengar atau apa, jadi Presiden Penyair,” jelas Sutardji Calzoum Bachri saat ditanya perihal julukan Presiden Penyair Indonesia yang disematkan padanya dalam suatu wawancara.

Selain Presiden Penyair, Tardji, begitu sapaan akrabnya, juga dikenal dengan julukan Penyair Bir karena dulu, ia selalu mabuk sebelum tampil membaca puisi. Namun, setelah ia pergi beribadah haji, ia tidak pernah lagi minum bir karena dilarang dalam agama.


Penyair yang lahir di Rengat, Indragiri Hulu, Riau, pada tanggal 24 Juni 1941 dari pasangan Mohammad Bachri yang berasal dari Prembun, Kutoarjo, Jawa Tengah dan May Calzoum yang berasal dari Tambelan, Riauini juga terkenal akan puisi mantra dan kredo puisinya. Tardji adalah anak kelima dari sebelas bersaudara.

Pada bulan November 1982, Tardji menikahi seorang wanita bernama Mariham Linda dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama Mila Seraiwangi, yang sayangnya tidak memiliki minat dalam dunia sastra.

Tardji sempat mengenyam pendidikan di Jurusan Sastra Inggris, Universitas Padjadjaran Bandung selama satu tahun, kemudian pindah ke Jurusan Administrasi Negara, Fakultas Sosial Politik, Universitas Padjadjaran Bandung sampai menyusun skripsi, namun tidak menyelesaikannya karena sudah terlanjur tertarik dengan dunia sastra.

Tardji mengaku tertarik dengan dunia sastra sejak kelas 3 SD, saat melihat salah satu kakak laki-lakinya membuat pantun. Saat itu juga, beliau langsung mengatakan bahwa beliau ingin menjadi penulis seperti itu juga.

Saat mahasiswa, Bung Tardji  mulai menulis dalam surat kabar mingguan di Bandung, lalu mengirimkan sajak-sajak dan esainya ke majalah bulanan Horison, Budaya Jaya, Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana, Pikiran Rakyat Bandung, dan Haluan Padang.

Penyair yang dijuluki Dami N. Toda sebagai mata kiri puisi dan Chairil Anwar sebagai mata kanannya ini, mengaku menguasai bahasa Prancis, Inggris, Spanyol, Melayu, dan Betawi.

Tardji sangat aktif mengikuti berbagai kegiatan sastra, seperti International Poetry Reading di Rotterdam, Belanda pada musim panas tahun 1974; mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, USA pada bulan Oktober 1974-April 1975 bersama K.H. Mustofa Bisri dan Taufiq Ismail;8th Poetry Reading Africa Festival (Durban, South Africa, 2004);Tradewinds Literature International Festival (Cape Town, Afrika Selatan, 2004).

Beliau juga pernah diundang ke Pertemuan Internasional Para Pelajar di Baghdad, Irak; diundang Menteri Keuangan Malaysia, Dato Anwar Ibrahim, untuk membacakan puisinya di Departemen Keuangan Malaysia; mengikuti berbagai Pertemuan Sastrawan ASEAN, Pertemuan Sastrawan Nusantara di Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam; serta membaca puisi di Festival Puisi Internasional Medellin, Columbia pada tahun 1997, dan masih banyak lagi kegiatan lainnya.

Pada tahun 1979 beliau diangkat menjadi redaktur sebuah majalah sastra Horison. Setelah berhenti dari majalah Horison, Bung Tardji menjadi penjaga ruang seni Bentara, spesialis puisi pada harian Kompas pada tahun 2000-2002, dan pada tahun 2013-2014 menjadi redaktur rubrik Hari Puisi dalam Koran Indo Pos.

Karya pertama Tardji, menurutnya adalah puisi yang berjudul Mantera, yang terdapat dalam buku kumpulan puisinya, O, yang diterbitkan pada tahun 1973. Setelah itu, beliau menerbitkan buku kumpulan puisi yang berjudul Amuk pada tahun 1977 dan dilanjutkan dengan Kapak pada tahun 1979. Enam puluh tujuh sajaknya yang terdapat dalam tiga buku tersebut kemudian dikumpulkan dalam satu buku berjudul O Amuk Kapak dan diterbitkan oleh Sinar Harapan pada tahun 1981. Menurut beliau, kumpulan puisi O dan Amuk menggambarkan mengenai pencarian ketuhanan, sedangkan kumpulan puisi Kapak mengenai maut dan bagaimana menghayati kematian sebelum mati. Berikut ini adalah beberapa puisinya yang terdapat dalam buku O Amuk Kapak.

Tragedi Winka & Shihka
kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
win
ka
win
ka
winka
winka
winka
sihka
sihka
sihka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
sih
sih
sih
sih
sih
ka
Ku
Tapi

aku bawakan bunga padamu
tapi kau bilang masih
aku bawakan resahku padamu
tapi kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu                          
tapi kau bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu
tapi kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
tapi kau bilang tapi
aku bawakan mayatku padamu
tapi kau bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu
tapi kau bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu
wah!
1976
Luka

ha ha
1976      
Belajar Membaca
kakiku luka
luka kakiku
kakikau lukakah
lukakah kakikau
kalau kakikau luka
lukakukah kakikau
kakiku luka               
lukakaukah kakiku
kalau lukaku lukakau
kakiku kakikaukah
kakikaukah kakiku
kakiku luka kaku
kalau lukaku lukakau
lukakakukakiku lukakakukakikaukah
lukakakukakikaukah lukakakukakiku
1979

Puisi-puisi Bung Tardji juga telah dikumpulkan dalam berbagai antologi, yakni:
  1. Arjuna in Meditation (Calcutta, India, 1976)
  2. Writing from the World (Amerika Serikat)
  3. Westerly Review (Australia)
  4. Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975)
  5. Ik wil nog duizend jaar leven, negen modern Indonesische dichters (1979)
  6. Laut Biru, Langit Biru (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977)
  7. Parade Puisi Indonesia (1990)
  8. Majalah Tenggara
  9.  Journal of Southeast Asean Literature 36 dan 37 (1997)
  10. Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi (2002)

Selain menerbitkan kumpulan puisi, lelaki yang mahir bermain alat musik harmonika ini juga menerbitkan buku kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayam, berisi sembilan cerpen yang berjudul Hujan, Di Kebun Binatang, Suatu Malam Suatu Warung, Tahi, Tangan, Menulis, Senyumlah pada Bumi, Ayam, dan Pada Terangnya Bulan diterbitkan oleh Indonesia Tera pada tahun 2001. Cerpen-cerpennya pun tidak jauh berbeda dengan puisi-puisinya yang sulit untuk dimengerti. Hal ini terkait dengan Kredo Puisi-nya yang terkenal.
Kredo Puisi
Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.
Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.
Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian.
Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.
Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.
Bila kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauannya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba, karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya, yang kreatif.
Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya.
Sebagai penyair saya hanya menjaga—sepanjang tidak mengganggu kebebasannya—agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa mendapatkan aksentuasi yang maksimal.
Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata.
Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.
Sutardji Calzoum Bachri
Bandung, 30 Maret 1973

Selain kumpulan puisi dan kumpulan cerpen, Bung Tardji pun turut menerbitkan buku kumpulan esai yang berjudul Isyarat pada tahun 2007 dengan tujuan agar pembaca lebih mengenal kepribadiannya lebih dekat. Buku yang tebalnya mencapai 506 halaman ini berisi 107 esai dan terbagi dalam 4 bab yaitu, Tardji Tentang Tardji; Tardji Mengaji Puisi; Tardji, Sastra, Seni, dan Budaya; dan Tardji Mencatat Nama.

Sementara itu, esainya yang berjudul Gerak Esai dan Ombak Sajak Anno (2001) dan Hujan Kelon dan Puisi (2002) mengantar kumpulan puisi Bentara.

Pada perayaan ulang tahunnya yang ke-67 di Pekanbaru, Riau, Bung Tardji mendapat kejutan dari rekan-rekannya di Dewan Kesenian Riau dengan penerbitan kumpulan puisi Atau Ngit Cari Agar (2008) yang berisi kumpulan puisi yang beliau buat pada tahun 1970-2000 yang tidak terdapat dalam buku O Amuk Kapak, serta buku …Dan, Menghidu Pucuk Mawar Hujan.(2008) yang berisi perjalanan sastra seorang Sutardji Calzoum Bachri. Pada ulang tahunnya ini, Bung Tardji juga mendapat hadiah dari seorang pencinta seni Riau yang tidak ingin disebutkan namanya berupa uang sebesar 100 juta rupiah.
Penyair yang khas dengan celana gunung, jaket kain, topi, dan harmonikanya ini seminggu sekali setiap Jumat malam Sabtu selalu menyempatkan diri mengunjungi Kafe Penus yang berada dalam Komplek Taman Ismail Marzuki (TIM) untuk menikmati live music sambil membaca ulang puisi-puisinya.
Mengenai harmonikanya, Tardji pernah bercerita suatu ketika, ia dan ketiga temannya yang bernama Luz, Hud, dan Ben tengah berada dalam sebuah kafe pada malam hari. Ketika Hud bernyanyi lagu blues, Ben meminta Tardji untuk memainkan harmonikanya. Namun, saat itu Sutardji tidak membawa harmonika. Inilah salah satu cara yang dapat membuat Tardji sebal. Ia hanya dapat diam dan kesal pada dirinya sendiri karena tidak dapat menjawab tantangan dari temannya.

Selain terkenal sebagai sastrawan, Tardji yang mengaku suka menyanyi dan berjalan-jalan ke luar kota selain menulis ini, juga pernah mengajar di IKJ sebagai dosen tamu dan mengajar creative writing di UI selama satu semester.

Tardji yang dianggap sebagai pelopor angkatan 70-an, telah meraih banyak penghargaan selama ia menjadi sastrawan, yakni:
  1. Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta untuk Kumpulan Puisi Amuk (1977)
  2. South East Writer Award (S.E.A. Write Award) di Bangkok, Thailand (1979)
  3.  Penghargaan Sastra Kabupaten Kepulauan Riau (1979)
  4. Anugerah Sastra Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia di Jakarta (1990)
  5. Anugerah Seni Pemerintah Republik Indonesia (1993)
  6. Penghargaan Sastra Penyair Legendaris Indonesia Chairil Anwar (1998)
  7. Anugerah Sastra Dewan Kesenian Jakarta (1998)
  8. Gelar Sastrawan Perdana  oleh Pemerintah Daerah Riau (2001)
  9. Anugerah Sastra Majelis Asia Tenggara/Mastera di Brunei Darussalam (2006)
  10. Penghargaan Bintang Budaya Parama dari Pemerintah (2008)
  11. Ahmad Bakrie Award untuk Bidang Kesusastraan (2008)
  12. Anugerah Seni Akademi Jakarta (2008)
  13. Anugerah Khusus Sagang Kencana oleh Yayasan Sagang (2010)

Sayangnya, untuk saat ini kita belum dapat menikmati kembali sajak-sajak unik sang Presiden Penyair Indonesia. Karena Blackberry-nya yang menyimpan sekitar empat puluh sajak terbarunya, hilang saat di Masjid Istiqlal. Jadi, jika kita masih ingin menjadi saksi sepak terjang Sutardji Calzoum Bachri dalam dunia kesusastraan Indonesia, kita doakan saja agar beliau masih ada umur, masih ada kesehatan, masih ada kreativitas, dan masih ada izin dari Tuhan Yang Maha Esa.

Namun, jika ingin sekadar berbincang atau bertanya mengenai sesuatu, Tardji dapat dihubungi di facebook.com/sutardjicalzoum.bachri, twitter.com/StardjiCalzBach, dan e-mail calzoumbachrisutardji@gmail.com.

Referensi:
Bachri, Sutardji Calzoum. 1981. O Amuk Kapak. Jakarta: Sinar Harapan.
Bachri, Sutardji Calzoum. 2001. Hujan Menulis Ayam. Yogyakarta: Indonesia Tera.
Bachri, Sutardji Calzoum. 2007. Isyarat. Yogyakarta: Indonesia Tera.
Bachri, Sutardji Calzoum. 2014. Hari Puisi. Indo Pos, 25 Oktober 2014.
Jamil, Taufik Ikram dan Agus Hadisujiwo Tejo. 1991. Lebih Jauh dengan Sutardji Calzoum Bachri. Kompas, 28 April 1991.
Noor, Acep Zamzam dkk. 2013. 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar