“Sebetulnya
bukan Presiden Penyair, tapi Presiden Puisi, bukan Penyair. Penyair itu
manusia, kan? Ini puisi. Aku menganggap bukuku bagus-bagus, jadi top seperti
Presiden lah top. Karena dulu top, maka Presiden Puisi. Tapi wartawan salah
dengar atau apa, jadi Presiden Penyair,” jelas Sutardji Calzoum Bachri saat
ditanya perihal julukan Presiden Penyair Indonesia yang disematkan padanya
dalam suatu wawancara.
Selain
Presiden Penyair, Tardji, begitu sapaan akrabnya, juga dikenal dengan julukan
Penyair Bir karena dulu, ia selalu mabuk sebelum tampil membaca puisi. Namun,
setelah ia pergi beribadah haji, ia tidak pernah lagi minum bir karena dilarang
dalam agama.
Penyair
yang lahir di Rengat, Indragiri Hulu, Riau, pada tanggal 24 Juni 1941 dari
pasangan Mohammad Bachri yang berasal dari Prembun, Kutoarjo, Jawa Tengah dan
May Calzoum yang berasal dari Tambelan, Riauini juga terkenal akan puisi mantra
dan kredo puisinya. Tardji adalah anak kelima dari sebelas bersaudara.
Pada
bulan November 1982, Tardji menikahi seorang wanita bernama Mariham Linda dan
dikaruniai seorang anak perempuan bernama Mila Seraiwangi, yang sayangnya tidak
memiliki minat dalam dunia sastra.
Tardji
sempat mengenyam pendidikan di Jurusan Sastra Inggris, Universitas Padjadjaran
Bandung selama satu tahun, kemudian pindah ke Jurusan Administrasi Negara,
Fakultas Sosial Politik, Universitas Padjadjaran Bandung sampai menyusun
skripsi, namun tidak menyelesaikannya karena sudah terlanjur tertarik dengan
dunia sastra.
Tardji mengaku tertarik dengan dunia
sastra sejak kelas 3 SD, saat melihat salah satu kakak laki-lakinya membuat
pantun. Saat itu juga, beliau langsung mengatakan bahwa beliau ingin menjadi
penulis seperti itu juga.
Saat
mahasiswa, Bung Tardji mulai menulis
dalam surat kabar mingguan di Bandung, lalu mengirimkan sajak-sajak dan esainya
ke majalah bulanan Horison, Budaya Jaya, Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana,
Pikiran Rakyat Bandung, dan Haluan Padang.
Penyair
yang dijuluki Dami N. Toda sebagai mata kiri puisi dan Chairil Anwar sebagai
mata kanannya ini, mengaku menguasai bahasa Prancis, Inggris, Spanyol, Melayu,
dan Betawi.
Tardji sangat aktif mengikuti berbagai
kegiatan sastra, seperti International
Poetry Reading di Rotterdam, Belanda pada musim panas tahun 1974; mengikuti
International Writing Program di
Universitas Iowa, USA pada bulan Oktober 1974-April 1975 bersama K.H. Mustofa
Bisri dan Taufiq Ismail;8th
Poetry Reading Africa Festival (Durban, South Africa, 2004);Tradewinds Literature International Festival
(Cape Town, Afrika Selatan, 2004).
Beliau juga pernah diundang ke Pertemuan
Internasional Para Pelajar di Baghdad, Irak; diundang Menteri Keuangan
Malaysia, Dato Anwar Ibrahim, untuk membacakan puisinya di Departemen Keuangan
Malaysia; mengikuti berbagai Pertemuan Sastrawan ASEAN, Pertemuan Sastrawan
Nusantara di Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam; serta membaca puisi di
Festival Puisi Internasional Medellin, Columbia pada tahun 1997, dan masih
banyak lagi kegiatan lainnya.
Pada tahun 1979 beliau diangkat menjadi
redaktur sebuah majalah sastra Horison. Setelah berhenti dari majalah Horison,
Bung Tardji menjadi penjaga ruang seni Bentara, spesialis puisi pada harian
Kompas pada tahun 2000-2002, dan pada tahun 2013-2014 menjadi redaktur rubrik
Hari Puisi dalam Koran Indo Pos.
Karya pertama Tardji, menurutnya adalah
puisi yang berjudul Mantera, yang terdapat dalam buku kumpulan puisinya, O,
yang diterbitkan pada tahun 1973. Setelah itu, beliau menerbitkan buku kumpulan
puisi yang berjudul Amuk pada tahun 1977 dan dilanjutkan dengan Kapak pada
tahun 1979. Enam puluh tujuh sajaknya yang terdapat dalam tiga buku tersebut
kemudian dikumpulkan dalam satu buku berjudul O Amuk Kapak dan diterbitkan oleh Sinar Harapan pada tahun 1981.
Menurut beliau, kumpulan puisi O dan Amuk menggambarkan mengenai pencarian
ketuhanan, sedangkan kumpulan puisi Kapak mengenai maut dan bagaimana
menghayati kematian sebelum mati. Berikut ini adalah beberapa puisinya yang
terdapat dalam buku O Amuk Kapak.
Tragedi Winka & Shihka
kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
win
ka
win
ka
winka
winka
winka
sihka
sihka
sihka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
sih
sih
sih
sih
sih
ka
Ku
Tapi
aku
bawakan bunga padamu
tapi kau bilang masih
aku
bawakan resahku padamu
tapi kau bilang hanya
aku
bawakan darahku padamu
tapi kau bilang cuma
aku
bawakan mimpiku padamu
tapi kau bilang meski
aku
bawakan dukaku padamu
tapi kau bilang tapi
aku
bawakan mayatku padamu
tapi kau bilang hampir
aku
bawakan arwahku padamu
tapi kau bilang kalau
tanpa
apa aku datang padamu
wah!
1976
Luka
ha ha
1976
Belajar Membaca
kakiku
luka
luka
kakiku
kakikau
lukakah
lukakah
kakikau
kalau
kakikau luka
lukakukah
kakikau
kakiku
luka
lukakaukah
kakiku
kalau
lukaku lukakau
kakiku
kakikaukah
kakikaukah
kakiku
kakiku
luka kaku
kalau
lukaku lukakau
lukakakukakiku
lukakakukakikaukah
lukakakukakikaukah
lukakakukakiku
1979
Puisi-puisi Bung Tardji juga telah
dikumpulkan dalam berbagai antologi, yakni:
- Arjuna in Meditation (Calcutta, India, 1976)
- Writing from the World (Amerika Serikat)
- Westerly Review (Australia)
- Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975)
- Ik wil nog duizend jaar leven, negen modern Indonesische dichters (1979)
- Laut Biru, Langit Biru (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977)
- Parade Puisi Indonesia (1990)
- Majalah Tenggara
- Journal of Southeast Asean Literature 36 dan 37 (1997)
- Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi (2002)
Selain menerbitkan kumpulan puisi,
lelaki yang mahir bermain alat musik harmonika ini juga menerbitkan buku
kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayam,
berisi sembilan cerpen yang berjudul Hujan, Di Kebun Binatang, Suatu Malam
Suatu Warung, Tahi, Tangan, Menulis, Senyumlah pada Bumi, Ayam, dan Pada
Terangnya Bulan diterbitkan oleh Indonesia Tera pada tahun 2001. Cerpen-cerpennya
pun tidak jauh berbeda dengan puisi-puisinya yang sulit untuk dimengerti. Hal
ini terkait dengan Kredo Puisi-nya yang terkenal.
Kredo Puisi
Kata-kata
bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan
air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.
Kalau diumpamakan dengan kursi, kata
adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan
pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.
Dalam kesehari-harian kata cenderung
dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai
pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka
sebagai pengertian.
Kata-kata harus bebas dari penjajahan
pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.
Dalam puisi saya, saya bebaskan
kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan
penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada
kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.
Bila kata telah dibebaskan, kreativitas
pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain
dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauannya sendiri. Pendadakan yang
kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai
penyalur pengertian, tiba-tiba, karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap
fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya, yang kreatif.
Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata
saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata
meloncat-loncat dan menari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya
sendiri, mundar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang
mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya
sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan
sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya
karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri
untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang
ingin dibebankan kepadanya.
Sebagai penyair saya hanya
menjaga—sepanjang tidak mengganggu kebebasannya—agar kehadirannya yang bebas
sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa mendapatkan aksentuasi yang
maksimal.
Menulis puisi bagi saya adalah
membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada
mulanya adalah Kata.
Dan kata pertama adalah mantera. Maka
menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.
Sutardji Calzoum Bachri
Bandung, 30 Maret 1973
Selain kumpulan puisi dan kumpulan
cerpen, Bung Tardji pun turut menerbitkan buku kumpulan esai yang berjudul Isyarat pada tahun 2007 dengan tujuan
agar pembaca lebih mengenal kepribadiannya lebih dekat. Buku yang tebalnya
mencapai 506 halaman ini berisi 107 esai dan terbagi dalam 4 bab yaitu, Tardji
Tentang Tardji; Tardji Mengaji Puisi; Tardji, Sastra, Seni, dan Budaya; dan
Tardji Mencatat Nama.
Sementara itu, esainya yang berjudul Gerak Esai dan Ombak Sajak Anno (2001)
dan Hujan Kelon dan Puisi (2002)
mengantar kumpulan puisi Bentara.
Pada perayaan ulang tahunnya yang ke-67
di Pekanbaru, Riau, Bung Tardji mendapat kejutan dari rekan-rekannya di Dewan
Kesenian Riau dengan penerbitan kumpulan puisi Atau Ngit Cari Agar (2008) yang berisi kumpulan puisi yang beliau
buat pada tahun 1970-2000 yang tidak terdapat dalam buku O Amuk Kapak, serta
buku …Dan, Menghidu Pucuk Mawar Hujan.(2008)
yang berisi perjalanan sastra seorang Sutardji Calzoum Bachri. Pada ulang
tahunnya ini, Bung Tardji juga mendapat hadiah dari seorang pencinta seni Riau
yang tidak ingin disebutkan namanya berupa uang sebesar 100 juta rupiah.
Penyair yang khas dengan celana gunung, jaket
kain, topi, dan harmonikanya ini seminggu sekali setiap Jumat malam Sabtu selalu
menyempatkan diri mengunjungi Kafe Penus yang berada dalam Komplek Taman Ismail
Marzuki (TIM) untuk menikmati live music
sambil membaca ulang puisi-puisinya.
Mengenai harmonikanya, Tardji pernah
bercerita suatu ketika, ia dan ketiga temannya yang bernama Luz, Hud, dan Ben
tengah berada dalam sebuah kafe pada malam hari. Ketika Hud bernyanyi lagu
blues, Ben meminta Tardji untuk memainkan harmonikanya. Namun, saat itu
Sutardji tidak membawa harmonika. Inilah salah satu cara yang dapat membuat
Tardji sebal. Ia hanya dapat diam dan kesal pada dirinya sendiri karena tidak
dapat menjawab tantangan dari temannya.
Selain terkenal sebagai sastrawan,
Tardji yang mengaku suka menyanyi dan berjalan-jalan ke luar kota selain
menulis ini, juga pernah mengajar di IKJ sebagai dosen tamu dan mengajar creative writing di UI selama satu
semester.
Tardji yang dianggap sebagai pelopor
angkatan 70-an, telah meraih banyak penghargaan selama ia menjadi sastrawan,
yakni:
- Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta untuk Kumpulan Puisi Amuk (1977)
- South East Writer Award (S.E.A. Write Award) di Bangkok, Thailand (1979)
- Penghargaan Sastra Kabupaten Kepulauan Riau (1979)
- Anugerah Sastra Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia di Jakarta (1990)
- Anugerah Seni Pemerintah Republik Indonesia (1993)
- Penghargaan Sastra Penyair Legendaris Indonesia Chairil Anwar (1998)
- Anugerah Sastra Dewan Kesenian Jakarta (1998)
- Gelar Sastrawan Perdana oleh Pemerintah Daerah Riau (2001)
- Anugerah Sastra Majelis Asia Tenggara/Mastera di Brunei Darussalam (2006)
- Penghargaan Bintang Budaya Parama dari Pemerintah (2008)
- Ahmad Bakrie Award untuk Bidang Kesusastraan (2008)
- Anugerah Seni Akademi Jakarta (2008)
- Anugerah Khusus Sagang Kencana oleh Yayasan Sagang (2010)
Sayangnya, untuk saat ini kita belum
dapat menikmati kembali sajak-sajak unik sang Presiden Penyair Indonesia.
Karena Blackberry-nya yang menyimpan sekitar empat puluh sajak terbarunya,
hilang saat di Masjid Istiqlal. Jadi, jika kita masih ingin menjadi saksi sepak
terjang Sutardji Calzoum Bachri dalam dunia kesusastraan Indonesia, kita doakan
saja agar beliau masih ada umur, masih ada kesehatan, masih ada kreativitas,
dan masih ada izin dari Tuhan Yang Maha Esa.
Namun, jika ingin sekadar berbincang
atau bertanya mengenai sesuatu, Tardji dapat dihubungi di
facebook.com/sutardjicalzoum.bachri, twitter.com/StardjiCalzBach, dan e-mail calzoumbachrisutardji@gmail.com.
Referensi:
Bachri,
Sutardji Calzoum. 1981. O Amuk Kapak.
Jakarta: Sinar Harapan.
Bachri,
Sutardji Calzoum. 2001. Hujan Menulis
Ayam. Yogyakarta: Indonesia Tera.
Bachri,
Sutardji Calzoum. 2007. Isyarat.
Yogyakarta: Indonesia Tera.
Bachri,
Sutardji Calzoum. 2014. Hari Puisi.
Indo Pos, 25 Oktober 2014.
Jamil,
Taufik Ikram dan Agus Hadisujiwo Tejo. 1991. Lebih Jauh dengan Sutardji Calzoum Bachri. Kompas, 28 April 1991.
Noor,
Acep Zamzam dkk. 2013. 33 Tokoh Sastra
Indonesia Paling Berpengaruh. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar