Sabtu, 31 Desember 2016

Makalah: Analisis Cerita Pocut Muhammad (Sastra Daerah Aceh)

1.      Sinopsis Pocut Muhammad
Dahulu kala, daerah Aceh yang pemandangan alamnya sangat indah, dipimpin oleh seorang raja bernama Sultan Alaudin. Sultan Alaudin memiliki empat anak yaitu Raja Muda, Pocut Keling, Pocut Sandang, dan Pocut Muhammad. Anaknya yang tertua, yaitu Raja Muda telah dicadangkan sebagai pengganti Sultan jika Sultan telah tiada.
Namun, di tengah tentramnya daerah Aceh yang ramai didatangi para pedagang dari berbagai penjuru dunia itu, ada sebuah daerah bernama Gampong Jawa di Banda Aceh yang terlalu bebas sehingga Sultan pun tidak dapat mengendalikan perdagangan di daerah itu sepenuhnya.
Di Gampong Jawa, ada seorang pedagang Arab yang bernama Jamaloi Alam yang mengangkat dirinya sebagai penguasa di sana. Jamaloi Alam membentuk pemerintahan tandingan. Maka, Kerajaan Aceh seperti ada dua pemerintahan.


Suatu hari, Sultan Alaudin menerima surat dari Jamaloi Alam yang menyatakan bahwa daerah kekuasaan Gampong Jawa jangan diganggu gugat oleh Sultan. Dengan memberikan daerah Gampong Jawa, Sultan akan terhindar dari rongrongan bajak laut. Jamaloi pun datang ke istana Sultan dan mereka membicarakan perihal pemberian wewenang untuk Jamaloi Alam mengelola daerah Gampong Jawa.
Setelah Jamaloi dan rombongannya kembali ke Gampong Jawa, Sultan Alaudin memanggil anaknya yang pertama, Raja Muda. Sultan mengatakan bahwa dirinya sudah tua dan ia ingin Raja Muda yang menggantikannya jika ia telah dipanggil Allah SWT. Lalu, Sultan berpesan bahwa jangan mengganggu daerah Gampong Jawa yang telah dikuasai oleh Jamaloi Alam sepenuhnya. Karena selama Jamaloi memimpin daerah Gampong Jawa, bajak laut tidak pernah beraksi lagi di negeri ini.
Tidak lama kemudian, Sultan Alaudin wafat dan Kerajaan Aceh kini dipegang oleh Raja Muda. Namun, pemerintahan Raja Muda sedikit melemah. Pelabuhan Banda Aceh seluruhnya dikuasai oleh Jamaloi Alam dan hasil pelabuhan tidak masuk lagi ke kas keraton. Karena hal inilah Raja Muda memanggil Perdana Menteri untuk menggempur daerah Gampong Jawa. Namun kemudian, ia mengubah sikapnya. Ia teringat pesan ayahnya bahwa jangan pernah mengancam kedudukan Jamaloi Alam.
Perubahan sikap ini sangat membuat para warga kecewa. Namun, mereka tidak dapat berbuat apa-apa karena keputusan seorang raja adalah segalanya. Banda Aceh pun semakin mati dan tiba-tiba datang sekawanan bajak laut.
Pocut Muhammad yang melihat kawanan bajak laut itu pertama kali dan ia mengajak kedua kakaknya yaitu Pocut Keling dan Pocut Sandang untuk menyergap kawanan bajak laut tersebut. Perkelahian antara Pocut Muhammad bersaudara dan bajak laut pun tak dapat terelakkan. Beberapa saat kemudian, perkelahian selesai dengan Haji Abas, seorang haji yang kaya, sebagai korban dari tindakan para bajak laut.
Kabar ini pun menyeruak di antara warga Aceh. Kerajaan semakin tidak aman. Peristiwa pembajakan laut pun terjadi lagi di tempat-tempat lain dan semakin tidak dapat teratasi.
Pocut Muhammad mengajukan usul kepada Raja Muda untuk melakukan sidang darurat. Dalam sidang itu, Pocut Muhammad mengemukakan pendapatnya bahwa penyebab datangnya para bajak laut ini adalah pemerintahan Jamaloi Alam di Gmapong Jawa. Pocut Muhammad menginkan semuanya bergerak untuk bertindak. Namun, Raja Muda masih bersikeras untuk tidak mengganggu pemerintahan Jamaloi Alam. Ia menolak untuk menyerang Gampong Jawa. Akhirnya, siding pun bubar tanpa ada keputusan yang jelas.
Pocut Muhammad menilai bahwa Raja Muda sangat lemah dalam memerintah negeri ini. Maka, ia meminta pendapat pada dua kakaknya, Pocut Keling dan Pocut Sandang mengenai hal ini. Kedua kakak Pocut Muhammad setuju dengan pendapatnya untuk menggempur Gampong Jawa.
Namun, rencana ini tercium oleh Raja Muda. Pocut Muhammad dipanggil oleh Raja Muda dan ia mengatakan bahwa ayahnya dulu berpesan agar jangan mengganggu kedudukan Jamaloi Alam. Pocut Muhammad meninggalkan sidang itu dengan hati sedih dan terbakar. Kini ia harus berjuang seorang diri.
Pocut Muhammad bersikeras untuk melanjutkan rencananya. Maka, ia mengajak Pocut Keling dan Pocut Sandang ke Pidie. Di sana telah berkumpul para warga, menteri, dan hulubalang. Pocut Muhammad mengemukakan rencananya di depan orang-orang itu, namun ia tidak menemukan Bentara Keumangan atau Pangulee Sinaroe, yaitu satu orang penguasa Mukim Sembilan.
Seorang ulama bernama Pakeh Rambayan pun akhirnya pergi ke tempat Bentara Keumangan dan diskusi panjang mereka berakhir dengan baik. Walaupun dulu Jamaloi Alam pernah meyelamatkan nyawa Bentara Keumangan, Bentara Keumangan tahu bahwa di sini ia harus membela yang benar. Walaupun ibu tirinya sempat tidak menyetujui rencana itu.
Pocut Muhammad dan kedua kakaknya pun melanjutkan perjalanan secara sembunyi-sembunyi untuk mencari dukungan dari masyarakat Aceh secara keseluruhan. Namun, ia merasa bahwa gerak-geriknya sudah diketahui orang, sehingga ia menugaskan Hakim Puteh untuk menghubungi daerah-daerah selanjutnya.
Rakyat yang mendengar bahwa Pocut Muhammad meminta dukungan bersama untuk menyerang Jamaloi Alam pun ikut bergerak ke daerah Awe Geutah. Lalu mereka berikrar bersama-sama untuk menumbangkan pengkhianat bangsa. Setelah itu, barulah mereka pergi menuju Pidie untuk bergabung bersama pasukan induk Pangulee Sinaroe.
Jamaloi Alam yang mengetahui bahwa Pocut Muhammad beserta pasukannya bersiap untuk berperang di Gampong Jawa menyuruh beberapa utusannya untuk mencari dukungan ke daerah sebelah barat. Benteng yang dipersiapkan Jamaloi Alam berlapis-lapis. Benteng yang terbesar adalah Benteng Meuraksa, kemudian Benteng Gampong Phang, Benteng Kuala, Benteng Pande, dan Benteng Neujit.
Panglimanya pun para panglima kenamaan seperti Imum Silang, Imum Lam Baro, dan Geusyik Po Kalam. Namun, pihak Pocut Muhammad pun tak kalah dengan para panglimanya seperti Pangulee Sinaroe, Geusyik Po Minat, Panglima Serong, Panglima Peureuba, Aneuk Tunong Krueng, dan Panglima Peuduka Simara.
Perang pun terjadi dengan korban berjatuhan dan darah yang terus mengalir. Sampai hari keempat peperangan, tampaknya pasukan Pocut Muhammad lebih unggul karena pasukan Jamaloi Alam banyak yang menjadi korban. Beberapa benteng yang disusun oleh Jamaloi Alam dapat direbut oleh Pangulee Sinaroe. Hal itu membuat pertahanan Gampong Jawa rapuh.
Hari keenam peperangan, Pangulee Sinaroe terus mencari keberadaan Jamaloi Alam yang tidak pernah nampak itu dan akhirnya ia bertemu Jamaloi Alam. Jamaloi tentu saja mengungkit saat ia menyelamatkan nyawa Pangulee dan saat Pangulee berkata bahwa ia ingin membawa Jamaloi ke jalan yang benar, Jamaloi berontak dan mengeluarkan pistolnya sehingga mengenai dada Panglima Bentara itu.
Namun, luka Pangulee Sinaroe itu tidak dapat disembuhkan dan Panglima Bentara itu pergi dipanggil Allah SWT meninggalkan mereka semua. Keadaan pun menjadi sunyi dan semuanya menangisi kepergian Pangulee Sinaroe, begitu juga Pocut Muhammad.
Hari demi hari masih berjalan peperangan tersebut hingga akhirnya dimenangkan oleh pasukan Pocut Muhammad. Masyarakat Gampong Jawa yang masih setia kepada Pemerintah Sultan dimohonkan untuk menyerahkan diri dengan baik-baik. Bagi yang tidak mau setia. Harus meninggalkan Kerajaan Aceh.
Namun, Jamaloi Alam tidak dapat ditemukan. Ia dikabarkan melarikan diri ke arah Lam Baro dan sekujur badannya luka-luka. Setelah peperangan selesai, orang-orang datang kembali ke Gampong Jawa dan rumah-rumah yang hancur akan digantikan oleh Raja Muda.
Sejak itu, Kerajaan Aceh pun tentram kembali dengan Raja Muda yang masih memerintah karena Pocut Muhammad tidak memiliki keinginan untuk menjadi raja. Beberapa tahun kemudian, Pocut Muhammad menikah dengan seorang putri cantik dari Lam Bhuk.
  

2.      Analisis Struktur Pocut Muhammad

Sebelum menganalisis struktur cerita Pocut Muhammad, saya akan mengklasifikasikan genre cerita ini terlebih dahulu. Pocut Muhammad termasuk ke dalam legenda karena legenda adalah prosa rakyat yang dianggap sungguh-sungguh pernah terjadi oleh sang empunya cerita. Menurut Danandjaja (2002), legenda bersifat sekuler (keduniawian), terjadinya pada masa yang belum begitu lampau, dan bertempat di dunia yang seperti kita kenal sekarang. Legenda sering dipandang tidak hanya merupakan cerita belaka namun juga dipandang sebagai “sejarah” kolektif, namun hal itu juga sering menjadi perdebatan mengingat cerita tersebut karena kelisanannya telah mengalami distorsi. Maka, apabila legenda akan dijadikan bahan sejarah harus dibersihkan dulu dari unsur-unsur folklornya. Moeis menyatakan legenda juga bukan semata-mata cerita hiburan, namun lebih dari itu dituturkan untuk mendidik manusia serta membekali mereka terhadap ancaman bahaya yang ada dalam lingkungan kebudayaan.

Yus Rusyana (2000) mengemukakan beberapa ciri legenda, yaitu:
1. Legenda merupakan cerita tradisional karena cerita tersebut sudah dimiliki masyarakat sejak dahulu.
2. Ceritanya biasa dihubungkan dengan peristiwa dan benda yang berasal dari masa lalu, seperti peristiwa penyebaran agama dan benda-benda peninggalan seperti mesjid, kuburan dan lain-lain.
3. Para pelaku dalam legenda dibayangkan sebagai pelaku yang betul-betul pernah hidup pada masyarakat lalu. Mereka itu merupakan orang yang terkemuka, dianggap sebagai pelaku sejarah, juga dianggap pernah melakukan perbuatan yang berguna bagi masyarakat.
4. Hubungan tiap peristiwa dalam legenda menunjukan hubungan yang logis.
5. Latar cerita terdiri dari latar tempat dan latar waktu. Latar tampat biasanya ada yang disebut secara jelas dan ada juga yang tidak. Sedangkan latar waktu biasanya merupakan waktu yang teralami dalam sejarah.
6. Pelaku dan perbuatan yang dibayangkan benar-benar terjadi menjadikan legenda seolah-olah terjadi dalam ruang dan waktu yang sesungguhnya. Sejalan dengan hal itu anggapan masyarakat pun menjadi seperti itu dan melahirkan perilaku dan perbuatan yang benar-benar menghormati keberadaan pelaku dan perbuatan dalam legenda.

Selanjutnya berbicara mengenai legenda tentunya kita tidak akan lepas dari pembicaraan mengenai penggolongan legenda. Selama ini telah ada atau mungkin banyak ahli yang menggolongkan legenda, namun sampai kini belum ada kesatuan pendapat mengenai hal itu.

Jan Harold Brunvand dalam Danandjaja (2002) menggolongkan legenda menjadi empat kelompok yakni:
1. Legenda Keagamaan (Religious Legends): legenda orang-orang suci (santo/santa) Nasrani, orang saleh, para wali penyebar agama Islam. Salah satu contoh misalnya cerita-cerita mengenai wali sanga di Jawa
2. Legenda Alam Gaib (Supernatural Legends): legenda alam gaib ini berhubungan dengan kenyataan di luar dunia nyata namun ada di sekitar kita, misalnya tentang keberadaan makhluk gaib, hantu, setan ataupun tempat-tempat yang sekiranya memiliki keanehan tersendiri.
3. Legenda Perseorangan (Personal Legends): legenda pahlawan pembangunan masyarakat atau budaya. Bercerita mengenai tokoh atau orang yang telah melakukan sesuatu yang sampai sekarang masih dianggap kebenarannya oleh masyarakat.
4. Legenda Setempat (Local Legends): cerita yang berhubungan dengan suatu tempat, nama tempat dan bentuk tofografi, yakni bentuk permukaan suatu daerah, apakah berbukit-bukit, berjurang dan sebagainya. Legenda setempat ini merupakan golongan legenda yang paling banyak jumlahnya.

Berdasarkan hal tersebut, Pocut Muhammad dapat digolongkan ke dalam legenda perseorangan karena sosok Pocut Muhammad adalah pahlawan pembangunan masyarakat atau budaya.

a.)    Unsur Plot/Alur

Plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. (Stanton, 2007:14)

Sedangkan, menurut Nurgiyantoro (2013:168) plot dapat dipahami sebagai berbagai peristiwa yang diseleksi dan diurutkan berdasarkan hubungan sebab akibat untuk mencapai efek tertentu dan sekaligus membangkitkan suspense dan surprise pada pembaca. Peristiwa-peristiwa cerita (dan atau plot) dimanifestasikan lewat perbuatan, tingkah laku, dan sikap tokoh-tokoh (utama) cerita.


Berikut ini adalah alur dalam cerita Pocut Muhammad:
1)      Pengenalan Situasi Cerita (Exposition): Daerah Aceh yang tentram dalam pemerintahan Sultan Alaudin yang memiliki empat orang putra bernama Raja Muda, Pocut Keling, Pocut Sandang, dan Pocut Muhammad.

2)      Pengungkapan Peristiwa (Complication): Sultan Alaudin memberi pesan pada Raja Muda, yang bakal menggantikan posisinya, agar jangan mengganggu pemerintahan Jamaloi Alam di Gampong Jawa. Namun, Jamaloi Alam bersikap semena-mena dan merasa sangat menguasai wilayah tersebut sehingga hasil perdagangannya tidak masuk ke kas keraton dan perdagangan di wilayah itu sangat bebas.

3)      Menuju Konflik (Rising Action): Raja Muda tidak setuju akan usul Pocut Muhammad yang ingin menyerang wilayah Gampong Jawa karena teringat pesan Sultan Alaudin sebelum meninggal.

4)      Puncak Konflik (Turning Point): Pocut Muhammad bersama pasukannya menyerang Gampong Jawa agar Aceh kembali tentram dan Jamaloi Alam kembali ke jalan yang benar.

5)      Penyelesaian (Ending): Perperangan antara pasukan Pocut Muhammad dan pasukan Jamaloi Alam dimenangkan oleh pasukan Pocut Muhammad.

Berdasarkan pengembangan di atas, alur cerita Pocut Muhammad adalah alur normal karena berurutan mulai dari pengenalan situasi cerita sampai penyelesaian.

Lalu, berdasarkan akhir cerita, plot cerita Pocut Muhammad adalah plot lembut karena cerita berakhir tidak terlalu mengejutkan.

Sedangkan, berdasarkan rangkaian peristiwanya, plot cerita Pocut Muhammad adalah plot maju (linier) karena diceritakan dari awal masa pemerintahan Sultan Alaudin saat Pocut Muhammad masih kecil, hingga pemerintahan Raja Muda, kakak Pocut Muhammad, dan berakhir dengan pernikahan Pocut Muhammad.

Selanjutnya, berdasarkan sifatnya, plot cerita Pocut Muhammad adalah plot tertutup karena akhir cerita tidak merangsang pembaca untuk meneruskan jalan cerita. Lebih dititikberatkan pada permasalahan dasar.

b.)    Unsur Latar

Latar atau seting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat, hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. (Abrams, 1999:284 dalam Nurgiyantoro, 2013: 302)

Stanton (1965) mengelompokkan latar, bersama dengan tokoh dan plot, ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca sebuah cerita fiksi. Atau, ketiga hal inilah yang secara konkret dan langsung membentuk cerita: tokoh cerita adalah pelaku dan penderita kejadian-kejadian yang bersebab akibat, dan itu perlu pijakan, di mana, kapan, dan pada kondisi sosial-budaya masyarakat yang bagaimana.

·         Latar tempat yang digunakan dalam cerita ini adalah wilayah Aceh, hal ini digambarkan dengan jelas di kalimat pertama yaitu:
“Deburan ombak di Banda Aceh tampak memutih, melemparkan percikan air yang merata di atas karang dan batu.”

Selain itu, cerita Pocut Muhammad memang dengan jelas menggambarkan kondisi Kerajaan Aceh yang pada saat itu dipimpin oleh ayahnya, Sultan Alaudin. Kalimat yang memperjelas yaitu:
“Sultan Alaudin yang gagah perkasa membawa Aceh ke dalam daerah yang diperhatikan oleh dunia luar.”

Lalu, disebutkan juga Gampong Jawa, sebuah daerah di Banda Aceh yang dikuasai oleh seorang pedagang bernama Jamaloi Alam.
“Seorang pedagang Arab yang bernama Jamaloi Alam mengangkat dirinya sebagai penguasa di daerah Banda Aceh, di daerah Gampong Jawa.”

Latar tempat-tempat yang lebih spesifik yaitu istana, dekat pantai, Pidie, Awe Geutah, dan Mesjid Raya.
-          Istana
“Pada suatu hari Jamaloi Alam datang ke istana Sultan. Pembicaraan mereka berkisar di antara pemberian wewenang untuk Jamaloi Alam untuk mengelola daerah Gampong Jawa.”

-          Dekat pantai
“Pada saat mereka kehilangan akal dan kehilangan jejak itu, teriakan-teriakan histeris muncul dari rumah-rumah dekat pantai itu.”

-          Pidie
“Sampai di Pidie mereka berhenti di Cot Peukan Tuha.”

-          Awe Geutah
“Sampai di Awe Geutah daerah Peusangan, Pocut Muhammad merasa bahwa gerak langkahnya sudah diketahui orang.”

-          Mesjid Raya
“Pasukan itu berkumpul di Mesjid Raya dan di benteng istana.”

·         Latar waktu yang digunakan dalam cerita ini pada masa pemerintahan Sultan Alaudin sampai pada masa pemerintahan Raja Muda.
“Sultan Alaudin yang gagah perkasa membawa Aceh ke dalam daerah yang diperhatikan oleh dunia luar.”
“Sultan Alaudin kini telah tiada. Kerajaan Aceh dengan sendirinya dipegang oleh putra Baginda yang tertua, yaitu Raja Muda.”

Selain itu, latar waktu pada pagi hari dan malam hari juga terdapat dalam cerita ini.
-          Pagi hari
“Sejak pagi alam memperlihatkan kedukaannya. Hujan tiada henti. Angin yang bercampur hujan membasahi bumi pertiwi dengan siraman rata.”

-          Malam hari
“Peristiwa di pantai pelabuhan di malam itu segera terkabar ke segenap penjuru. Kerajaan dalam keadaan tidak aman.”


·         Latar sosial budaya dalam cerita ini adalah tradisi masyarakat Aceh yang selalu berunding dalam memutuskan sesuatu. Kalimat yang memperjelas yaitu:
“Perdana Menteri, menteri, dan para pembesar istana menunggu putusan Raja Muda.”

Selain itu sikap masyarakat Aceh selalu menuruti perintah Raja. “Raja adalah segala-galanya. Melanggar perintah raja, maut menanti.”

Lalu, masyarakat Aceh juga terkenal sangat menghormati yang lebih tua.
“Beliau tersinggung, Tuan. Beliau mengatakan bahwa seharusnya Tuan sendiri yang pergi ke sana, karena beliau lebih tua daripada Tuan.”

c.)    Unsur Tokoh

Tokoh cerita adalah orang yang ditampilkan dalam sesuatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. (Abrams, 1993:32-33 dalam Nurgiyantoro, 2013:247)

Penggunaan istilah karakter sendiri dalam berbagai literatur bahasa Inggris menyaran pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh cerita yang ditampilkan dan sebagai sikap ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut. (Stanton, 1965:17)

Tokoh-tokoh dalam cerita Pocut Muhammad yakni:
1)      Pocut Muhammad: Penolong, pemberani, baik hati, tegas.
“Pocut Muhammad menilai bahwa kakaknya Raja Muda sangat lemah dalam memerintah negeri ini.”
“Pocut Muhammad berpikir bahwa tiada jalan lain yang harus dilakukan kecuali menyerang Gampong Jawa yang dianggapnya negeri dalam negeri itu.”
“Kehilangan terasa sekali oleh Pocut Muhammad atas gugurnya Panglima Bentara Keumangan alias Pangulee Sinaroe.”
“Keberadaan Pocut Muhammad membuat Kerajaan Aceh jaya kembali walaupun Pocut Muhammad sendiri tidak mempunyai keinginan hendak menjadi raja.”

2)      Jamaloi Alam: licik, pengkhianat, jahat.
“Jamaloi Alam mengangkat dirinya sebagai penguasa di daerah Gampong Jawa.”
“Keberadaan Pemerintahan Jamaloi Alam di Gampong Jawa merupakan penyebab kejadian ini. Semua gerakan bajak laut diatur dari tempat itu.”
“Jamaloi Alam mengeluarkan sebuah pistol dari kantongnya. Pistolnya meledak dan tepat mengenai dada Panglima Bentara.”

3)      Raja Muda: lemah, terlalu patuh.
“Ayahanda pernah meminta kepadaku agar kelak kemudian hari aku tidak mengancam akan kedudukan Jamaloi Alam,” kata Raja Muda.”
“Semua tindakan tidak berani dilakukan karena dia takut dengan risiko yang besar.”

4)      Sultan Alaudin: baik hati, bijaksana, mudah diperdaya.
“Sultan Alaudin yang gagah perkasa membawa Aceh ke dalam daerah yang diperhatikan oleh dunia luar.”
“Ketidakberdayaan Sultan Alaudin untuk mengendalikan perdagangan di Banda Aceh berakibat sangat buruk.”
“Kelolalah daerah itu dengan sebaik-baiknya. Cuma aku minta kepadamu, Jamaloi Alam, agar engkau ikut menjaga keamanan dan ketentraman negeri.”
“Ayahanda berpesan agar Ananda tidak perlu berselisih paham dengan Jamaloi Alam.”

5)      Pocut Keling: mendukung sikap Pocut Muhammad.
“Saya mendukung rencana kamu, Dik,” kata Pocut Keling.”

6)      Pocut Sandang: mendukung sikap Pocut Muhammad.
“Jangan khawatir, Dik,” kata Pocut Sandang, “saya akan selalu berada di sisimu, demi menyelamatkan Kerajaan ini dari kehancuran.”

7)      Pangulee Sinaroe (Bentara Keumangan): gagah berani, pembela kebenaran.
“Pocut Muhammad tahu bahwa Pangulee Sinaroe adalah seorang panglima perang yang tangguh.”
“Hamba selalu hendak berdiri di atas kebenaran.”
“Luka yang menganga di betis Pnaglima Bentara itu tidak membuat dia lemah.”
“Aku ingin membawa engkau ke jalan yang benar, Jamaloi,” kata Panglima Bentara.”

8)      Pakeh Rambayan: mendukung sikap Pocut Muhammad.
“Berangkatlah Pakeh Rambayan ke tempat Bentara Keumangan.”

9)      Perdana Menteri: patuh pada Raja.
“Wahai Perdana Menteri, jangan mendukung rencana yang dilakukan oleh Pocut Muhammad.”

10)  Hulubalang: hormat pada keluarga Raja.
“Seorang hulubalang memberi salam di hadapan Pocut Muhammad.”


d.)   Unsur Tema

Tema adalah gagasan (makna) dasar umum yang menopang sebuah karya sastra sebagai struktur semantis dan bersifat abstrak yang secara berulang-ulang dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya dilakukan secara implisit. (Nurgiyantoro, 2013:115)

Tema yang dapat disimpulkan dari cerita Pocut Muhammad ini ialah sikap kepahlawanan dalam mempertahankan kerajaan Aceh. Sikap Pocut Muhammad yang gagah berani memimpin para rakyat untuk menyerang Gampong Jawa karena pengkhianatan seorang Jamaloi Alam dapat diteladani, walaupun ia harus menentang kakaknya, Raja Muda.

e.)    Unsur Sarana
1.)    Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis/pemakai bahasa (Gorys Keraf, 2002: 113).

Gaya bahasa dalam cerita Pocut Muhammad yakni:
·         Personifikasi/penginsanan adalah gaya bahasa yang mempersamakan benda-benda dengan manusia, punya sifat, kemampuan, pemikiran, perasaan, seperti yang dimiliki dan dialami oleh manusia.
“Deburan ombak di Banda Aceh tampak memutih, melemparkan percikan air yang merata di atas karang dan batu. Pasir rata di pantai menyemarakkan keindahan yang ada di sekitar.”

·         Hiperbola adalah gaya bahasa berupa pernyataan yang sengaja dibesar-besarkan dan dibuat berlebihan.
“Jika Anda sedang berada di pinggir pantai yang permai tersebut, Anda akan menelan air liur dengan amat terharu.”

·         Antonomasia adalah gaya bahasa berupa penyebutan gelar resmi dan semacamnya untuk menggantikan nama diri.
“Ampun, Tuanku Raja Muda. Paduka Sultan sedang menunggu Tuanku di istana.”

·         Metafora adalah bahasa kiasan sejenis perbandingan namun todak menggunakan kata pembanding. Di sini perbandingan dilakukan secara langsung tanpa kata sejenis bagaikan, ibarat, laksana, dan semacamnya.
“Pohon-pohon laksana rambut yang basah, menempel tiada maya di dekat tangkai-tangkai lemah.”

·         Erotesis/pertanyaan retoris adalah gaya bahasa berupa pengajuan pertanyaan untuk memperoleh efek mengulang tanpa menghendaki jawaban, karena jawabannya sudah tersirat di sana.
“Bajak laut,” kata Pocut Muhammad yang pada waktu itu sedang berada di dekat pantai, “apa yang harus kita lakukan, Kak?”

·         Ironi/sindiran adalah gaya bahasa berupa penyampaian kata-kata dengan berbeda dengan maksud dengan sesungguhnya, tapi pembaca/pendengar, di harapkan memahami maksud penyampaian itu.
“Pada masa pemerintahan Ayahanda Sultan Alaudin, bajak laut tidak pernah masuk ke dalam negeri.”

·         Apofasis/preterisio adalah gaya bahasa yang dipakai oleh pengarang untuk menyampaikan sesuatu yang megandung unsur kontradiksi, kelihatannya menolak tapi sebenarnya menerima, kelihatannya memuji tapi sebenarnya mengejek, nampaknya membenarkan tapi sebenarnya menyalahkan, kelihatannya merahasiakan tapi sebenarnya membeberkan.
“Engkaukah itu, Pangulee Sinaroe? Tidak kusangka engkau dapat menghancurkan pasukanku dan hendak menangkap aku. Ingatkah engkau ketika kita berdua saja dalam hutan? Nyawamu hampir melayang pada waktu itu. Jika aku tidak ada, engkau sudah tiada.”

·         Prolepsis/antisipasi adalah gaya bahasa berupa kalimat yang diawali dengan kata-kata yang sebenarnya baru ada setelah suatu peristiwa terjadi.
“Pistolnya meledak dan tepat mengenai dada Panglima Bentara. Panglima Bentara jatuh ke tanah.”


2.)    Sudut Pandang

Sudut pandang, point of view, viewpoint, merupakan salah satu unsur fiksi yang oleh Stanton (1965) digolongkan sebagai sarana cerita, literary device.

Sudut pandang merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams, 1999:231)

Sudut pandang cerita itu sendiri secara garis besar dapat dibedakan ke dalam dua macam: persona pertama, first-person, gaya “aku”, dan persona ketiga, third-person, gaya “dia”. Selain itu, tampaknya juga harus disebut adanya sudut pandang dengan gaya “kau”, second-person. (Nurgiyantoro, 2013:339-340)

Sudut pandang yang dipakai dalam cerita Pocut Muhammad ini adalah sudut pandang orang ketiga.
“Kini, setelah Sultan Alaudin mangkat, Pemerintahan Raja Muda sedikit melemah. Pelabuhan Banda Aceh seluruhnya dikuasai oleh Jamaloi Alam. Sejak pemerintahan Raja Muda hasil pelabuhan tidak masuk lagi ke kas keraton. Keraton akhirnya menderita deficit setiap tahun, sementara Jamaloi Alam menguasai seluruh asset pelabuhan. Perdagangan yang amat besar yang dilakukan oleh para pedagang Aceh tidak sedikit pun dapat dimanfaatkan untuk Kerajaan Aceh. Hal inilah yang membuat suatu kegelisahan yang besar yang melanda Kerajaan Aceh itu.”

Namun, dalam cerita ini juga terdapat sudut pandang orang pertama.
“Beberapa lama hamba menyelidiki, bahwa keberadaan Pemerintahan Jamaloi Alam di Gampong Jawa merupakan penyebab kejadian ini. Semua gerakan bajak laut diatur dari tempat itu. Jamaloi Alam tidak hanya mendirikan pemerintahan yang inkonvensional, tetapi juga hendak menikam pemerintahan Kakanda Raja Muda dari dalam. Hamba mengharap agar kita cepat bertindak. Paman Perdana Menteri diharapkan untuk mengambil tindakan untuk menggulingkan pemerintahan yang tidak sah itu.”

3.      Analisis Sejarah Pocut Muhammad

Sejarah adalah studi tentang masa lalu, khususnya bagaimana kaitannya dengan manusia. Dalam bahasa Indonesia sejarah babad, hikayat, riwayat, atau tambo dapat diartikan sebagai kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau atau asal usul (keturunan) silsilah, terutama bagi raja-raja yang memerintah.

Aceh adalah sebuah bangsa yang sudah ada sejak 2.500 tahun yang lalu dan sudah dikenal sejak abad ke-5 M dengan kerajaan Poli yang berada di pantai Sigli (Aceh Pidie). Aceh adalah bangsa yang unik yang terdiri dari multikultur suku dan bahasa serta budaya. Aceh adalah negeri yang penuh julukan, Aceh negeri serambi mekkah, Aceh negeri tanah rencong, Aceh negeri syariat Islam, Aceh negeri sejuta warung kopi dan sebagainya.

Konon keturunan bangsa Aceh adalah dari tanah Persia dan kepanjangan dari kata ACEH adalah Arab, China, Eropa, dan Hindustan (India).

Menurut salah satu sumber di kalangan peneliti sejarah dan antropologi, bahwa asal usul Bangsa Aceh berasal dari suku Mantee yang hidup di rimba raya Aceh yang memiliki ciri-ciri postur tubuh agak kecil dibandingkan dengan orang Aceh sekarang. Menurut perkiraan suku Mantee ini mempunyai hubungan terkait dengan suku bangsa Mantera di Malaka yang merupakan bagian dari bangsa Monk Khmer dari Hindia belakang. Persamaan yang ada dalam jiwa-jiwa orang Aceh dengan orang Khmer yaitu semangat dan api revolusi yang menyala-nyala.

Pengaruh pertama terhadap bangsa Aceh datang dari bangsa India yang membawa ajaran Hindu dan Budha masuk ke Aceh sekitar 2.500 tahun yang lalu, bangsa India telah membuat perkampungan di Aceh. Mereka datang melalui pesisir pantai utara Aceh. Sangat beranekaragamnya sumber-sumber yang mengingat pelabuhan-pelabuhan dagang itu, dimana diperoleh informasi dari Cina, Arab, India, bahkan Eropa, adalah bukti yang cukup kuat bahwa tempat itu memang dari dahulu kala sudah merupakan persimpangan internasional yang sangat strategis diapit oleh samudera Hindia dan selat Malaka.

Hal inilah yang membuat latar cerita Pocut Muhammad, yaitu Aceh yang perdagangannya sangat kuat terutama di daerah Gampong Jawa yang dipimpin oleh Jamaloi Alam, seorang pedagang keturunan Arab.

4.      Analisis Antropologi Pocut Muhammad

Antropologi adalah ilmu tentang manusia, masa lalu dan kini, yang menggambarkan manusia melalui pengetahuan ilmu sosial dan ilmu hayati (alam), dan juga humaniora. Secara etimologis antropologi berarti ilmu yang mempelajari manusia.

Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki suku dan budaya yang beraneka ragam. Masing-masing budaya daerah saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebudayaan daerah lain maupun kebudayaan yang berasal dari luar Indonesia. Salah satu kebudayaan tersebut adalah kebudayaan Aceh. Dilihat dari kebudayaannya, Aceh memiliki budaya yang unik dan beraneka ragam. Karena letaknya yang strategis dan juga Aceh merupakan jalur perdagangan, maka kebudayaan Aceh ini banyak dipengaruhi oleh budaya-budaya melayu dan Timur Tengah. Beberapa budaya yang ada sekarang adalah hasil dari akulturasi antara budaya melayu, Timur Tengah dan Aceh sendiri.

Dalam sistem kekerabatan, bentuk kekerabatan yang terpenting adalah keluarga inti dengan prinsip bilateral. Adat menetap sesudah menikah bersifat matrilokal, yaitu tinggal di rumah orangtua istri selama beberapa waktu. Sedangkan anak merupakan tanggung jawab ayah sepenuhnya.

Hal inilah yang membuat di dalam cerita Pocut Muhammad bahwa Sultan Alaudin sangat merasa bertanggung jawab terhadap anak-anaknya yaitu Raja Muda, Pocut Sandang, Pocut Keling, dan Pocut Muhammad.

Bentuk kesatuan hidup setempat yang terkecil disebut gampong (kampung atau desa) yang dikepalai oleh seorang geucik atau kecik. Kumpulan dari beberapa gampong disebut mukim yang dipimpin oleh seorang uleebalang, yaitu para panglima yang berjasa kepada sultan. Kehidupan sosial dan keagamaan di setiap gampong dipimpin oleh pemuka-pemuka adat dan agama, seperti imeum meunasah, teungku khatib, tengku bile, dan tuha peut (penasehat adat).

Karena hal tersebut, dalam cerita Pocut Muhammad terdapat daerah bernama Gampong Jawa. Uleebalang yang disinggung di atas biasa disebut sebagai hulubalang dalam cerita Pocut Muhammad.

Aceh termasuk salah satu daerah yang paling awal menerima agama Islam. Oleh sebab itu provinsi ini dikenal dengan sebutan "Serambi Mekah", maksudnya "pintu gerbang" yang paling dekat antara Indonesia dengan tempat dari mana agama tersebut berasal. Meskipun demikian kebudayaan asli Aceh tidak hilang begitu saja, sebaliknya beberapa unsur kebudayaan setempat mendapat pengaruh dan berbaur dengan kebudayaan Islam. Dengan demikian kebudayaan hasil akulturasi tersebut melahirkan corak kebudayaan Islam-Aceh yang khas. Di dalam kebudayaan tersebut masih terdapat sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme.
Oleh karena itu, dalam cerita Pocut Muhammad terdapat berbagai hal dan beberapa percakapan yang berhubungan dengan agama Islam. Karena di Aceh juga mayoritas masyarakatnya beragama Islam.

Selain itu, masyarakat Aceh terkenal sangat menghormati yang lebih tua atau yang jabatannya lebih tinggi. Hal ini tidak lain karena pengaruh dari agama Islam juga.

Masyarakat Aceh juga terkenal suka saling tolong menolong, bermusyawarah jika ingin memecahkan suatu masalah, dan rasa cinta terhadap daerahnya sendiri. Dalam cerita Pocut Muhammad, sikap-sikap ini dapat ditemui dengan mudah.

5.      Analisis Sosiologi Pocut Muhammad

Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan, sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan. Ungkapan ini dipublikasikan diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul "Cours De Philosophie Positive" karangan August Comte (1798-1857). Walaupun banyak definisi tentang sosiologi namun umumnya sosiologi dikenal sebagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat.

Masyarakat adalah sekelompok individu yang mempunyai hubungan, memiliki kepentingan bersama, dan memiliki budaya. Sosiologi hendak mempelajari masyarakat, perilaku masyarakat, dan perilaku sosial manusia dengan mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya. Sebagai sebuah ilmu, sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan dapat di kontrol secara kritis oleh orang lain atau umum.

Dalam sosiologi, pelapisan dalam masyarakat dikenal dengan istilah stratifikasi sosial (sosial stratification) kata stratifikasi sosial berasal dari bahasa Latin Stratum: tingkatan dan Socius: rekan/masyarakat.

Unsur-unsur lapisan sosial yaitu:
1.      Status sosial: posisi seseorang dalam masyarakat dalam hubungannya dengan orang lain, baik mencakup perilaku, hak maupun kewajiban. Status adalah tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial atau kedudukan. Jika menyangkut masyarakat luas maka status sosial makin tinggi.
a.       Status yang diusahakan (Achieved Status): kedudukan di dalam masyarakat yang diraih melalui usaha sendiri yang disengaja (terbuka).
b.      Status yang digariskan (Ascribed Status): kedudukan dalam masyarakat yang diperoleh melalui garis keturunan/kalahiran. (tertutup).
c.       Status yang diberikan (Assigned Status): kedudukan yang lebih tinggi yang diberikan kpd seseorang/sklp. Karena dianggap telah bekerja sama memenuhi kepentingan masyarakatnya berjasa, misalnya gelar kehormatan, kenaikan pangkat dsb.

2.      Peranan sosial: rangkaian norma  dan perilaku yang dijalankan seseorang sesuai dengan status sosialnya dalam masyarakat. (Jika seseorang melaksanakan hak & kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peranan). Perubahan status sosial akan berdampak pada perubahan peranan sosial.
a.       Peranan pilihan (achieved roles): peranan yang hanya diperoleh melalui usaha tertentu
b.      Peranan bawaan (ascribed roles): peranan yang diperoleh secara otomatis bukan karena usaha tertentu.
c.       Peranan yang diharapkan (expected roles): peranan yang dilaksanakan sesuai ketentuan yang telah ditetapkan bersama bersama.
d.      Peranan yang disesuaikan (actual roles): peranan yang dilaksanakan sesuai situasi yang selalu berubah-ubah.

Dalam suatu masyarakat akan terdapat golongan paling atas yang disebut dengan lapisan elite. Dan lapisan paling bawah disebut dengan lapisan biasa atau orang kebanyakan. Antara lapisan atasan dan lapisan bawahan kadang-kadang terdapat lagi beberapa lapisan seperti yang terdapat pada masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh pada zaman kerajaan dahulu dapat dibagi ke dalam:
1.      Lapisan Raja
2.      Lapisan Uleebalang
3.      Lapisan Ulama
4.      Lapisan Rakyat Biasa

Lapisan Raja berasal dari keturunan raja-raja yang memegang kekuasaan kerajaan. Raja dan keturunannya dianggap sebagai lapisan elite. Maka lapisan raja dihormati karena kekuasaan dan keturunan-keturunan mereka. Hingga sekarang penghormatan masyarakat kepada keturunan raja-raja masih tampak dalam pergaulan hidup sehari-hari seperti mengenai panggilan. Walaupun perbedaan-perbedaan yang lain tidak tampak lagi antara keturunan raja dengan orang biasa.

           Di bawah lapisan raja, terdapat lapisan Uleebalang, sebagai wakil raja untuk daerah-daerah kerajaan kecil. Maka kadang-kadang untuk seorang uleebalang disebut juga dengan uleebalang cut. Di samping lapisan itu terdapat juga lapisan yang menentukan dalam bidang agama. Maka pada tiap-tiap kerajaan muncullah golongan ulama. Dan lapisan yang paling bawah adalah lapisan rakyat biasa.

Dalam cerita Pocut Muhammad sangat jelas akan adanya stratifikasi sosial. Pada masa pemerintahan Sultan Alaudin, anak-anak Sultan Alaudin digambarkan sebagai anak-anak kecil yang menarik perhatian para warga. Walaupun begitu, anak-anak Sultan Alaudin disekolahkan di sekolah biasa. Setelah Sultan Alaudin meninggal dunia dan jabatannya diserahkan kepada Raja Muda pun dalam sosiologi dinamakan status yang digariskan (ascribed status) dan tentu saja Raja Muda harus memerankan peranan bawaan (ascribed roles).

Selain itu, dalam cerita Pocut Muhammad juga terdapat Perdana Menteri dan Uleebalang (disebut Hulubalang dalam cerita) yang membantu memecahkan jika ada suatu masalah dalam kerajaan Aceh.


DAFTAR PUSTAKA


Danandjaja, James. Folklor Indonesia. 2002. Jakarta: Grafitti.
Dwi Narwoko, J. dan Bagong Suyanto. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. 2014. Jakarta: Kencana Prenada Media.
Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. 2002. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. 2013. Yogyakarta, Gajah Mada University Press.
Rahman, Nurhayati dan Sri Suksesi Adiwimarta. Antologi Sastra Daerah Nusantara. 1999. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Rusyana, Yan. Prosa Tradisional. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. 2009. Jakarta: Rajawali Press.
Stanton, Robert. Teori Fiksi. 2007. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Teeuw, A. Sastra dan Ilmu Sastra. 2013. Jakarta: Pustaka Jaya.

1 komentar:

  1. Cerita Pocut Muhammad bukan legenda, kejadian ini nyata dalam sejarah Aceh, nasab keturunannya jelas, semua orang yang terlibat dalam cerita ini mempunyai makam dan fase sejarah nya.

    BalasHapus